Sahabat! Kami rindu padamu. Rindu berkunjung ke rumahmu lagi. Kau harus lihat kebahagiaan alima ketika mengumpulkan bunga liar kuning di sepanjang jalan menuju rumahmu. Sedangkan aku & nisa tak henti-hentinya menghirup dalam-dalam udara segar beraroma rumput yang baru disabit peternak. Bukan karena kami tak mau melakukan hal yang sama dengan alima. Bagi kami, bisa mengatur nafas untuk menapaki lereng curam ke rumahmu sudah menakjubkan.
Subhanallah, perjalanan yang indah menuju 525 m diatas permukaan laut, sebanding dengan beberapa bukit besar di sekitarnya, palasari. Sesekali, kami berhenti. Sekedar mencari tempat datar untuk memijakkan kaki. Mencuri waktu untuk menghela nafas panjang serta mengagumi ciptaan Allah yang dianugerahkan sebagai tempat tinggalmu. Mengagumimu sahabat! Sebagai remaja yang harus berjuang keras menapaki jalan yang curam untuk pergi & pulang sekolah serta mengaji.
Dan sahabat! Kebahagiaan kami bertambah-tambah,ketika sampai di rumahmu. Keluarga yang hangat menyapa kami. Sehangat goreng opak dadakan dari ibumu. Alima & nisa terus mengunyahnya. Hmm... aku pun demikian. Lalu kita terlibat pembicaraan yang mengasyikkan. Tentang teman-teman sekolah, tentang pemikiran mereka & orientasi hidup mereka.
Sahabat! salam ukhuwah dari kami semua. kami menantimu di bawah pohon rindang itu lagi, seperti senja itu. seminggu selepas kami mengunjungimu. Kita bercengkerama diatas terpal kecil yang digelar nisa di halaman rumahnya. Kita meneguhkan janji, mengambil jalan dakwah sebagai pilihan atas kesadaran. Tak cukup berharga apa2 di dunia ini untuk menggantikanya.
“Wahai Ali, sungguh kalau seandainya Allah memberi hidayah pada seorang laki-laki melalui engkau itu lebih baik bagimu dibanding apa-apa yang matahari terbit diatasnya” (Hadits dikeluarkan oleh al-Hakim, al-Mustadrak ala ash-Shahihaini, juz 15 hal 199)
penulis: Ekha Subara