Sebetulnya sejak lama saya
ingin menulis tentang hal ini. Namun baru sekarang terlaksana. Dan saya mulai
dengan cerita Mark Zuckerberg.
Diantara banyaknya wanita
cantik yang ia temui, ternyata dia memilih Priscilla Chan untuk menjadi
istrinya. Padahal menurut banyak orang perempuan pilihannya tidak cantik.
Namun Ia menjawab dengan
pernyataan yang bijaksana atas masalah ini. Seperti yang ia ungkapkan didepan
banyak orang saat kunjungan ke China. “Pertama2 saya ingin membahas, apa itu
wanita cantik, apa itu wanita tidak cantik.” Ujarnya.
"Saya berkesempatan bertemu byk wanita cantik, namun wanita cantik kebanyakan hatinya spt kaca, jika sakit manjanya spt putri raja & juga biasanya angkuh, mereka akan bertanya kepada saya, mengapa begitu kaya namun tidak mau ganti mobil. Saya tau tujuan mereka adlh mau pamer di lingkungan teman.
Wanita demikian walaupun
secantik apapun, bila sanubari nya hanya menuntut/meminta, tetap kelihatan
jelek, jiwanya kotor. Wanita demikian barulah dikatakan sbg wanita berparas
jelek, diberikan gratispun saya tidak mau."
"Kecantikan luar akan berkurang nilainya seiring bertambahnya usia, namun kecantikan dari dalam akan bertambah nilainya seiring bertambahnya usia. Dalam hal ini para ahli ekonomi di wall street pasti mengerti, makanya saya sama dgn mereka, tidak akan bersentuhan dgn yg cepat turun nilainya.
Saya mencintai kesederhanaan
Priscilla. Saya mencintai penampilannya : bersemangat namun bijak, berani namun
penuh kasih, berjiwa pemimpin namun jg bisa mendukung orang lain. Saya
mencintai keseluruhannya, saat bersamanya, saya merasa sangat nyaman &
relax."
"Saya sama-sekali tidak merasa Priscilla tersanjung karena saya, selain cerdas intelektual tinggi, dia juga punya kecerdasan emosi/sosial yg tinggi, & jangan lupa, Priscilla adalah lulusan kedokteran Harvard, anda bisa coba test masuk universitas tsb, jurusan hukum, kedokteran, ekonomi adalah jurusan rebutan, walaupun lulus test masuk, belum tentu bisa lulus penuh, kalau mau dikatakan tersanjung, lebih tepat saya yg tersanjung karena Priscilla bukan sebaliknya. Perkawinan ibarat sepasang sepatu, hanya yg memakainya tau sepatunya nyaman dipakai atau tidak, Priscilla paling cocok buat saya, saya & Priscilla adalah pasangan paling ideal di bumi ini, saya berkenalan dgn Priscilla saat antrian toilet, di mata Priscilla, saya adalah seorang kutu buku. Ini adalah jodoh.
Di mata kalian, Priscilla
tidak cantik, namun di mata saya, dia cantik & paling serasi dgn saya."
Cerita inilah yang
mengingatkan saya pada pernikahan 2 pasangan ustadz dan ustadzah yang mengisi
hari hari saya sewaktu gadis dengan ilmu dan tsaqofahnya. Lalu kisah pernikahan
mereka menjadi model dalam benak saya dalam memilih pasangan (beruntung saya
mengenal mereka, semoga Allah menjaga mereka dalam kebaikan selalu).
Yang pertama adalah ustadz
lulusan pesantren. Waktu itu masih muda, dia meminta dicarikan istri yang
memiliki tsaqofah tinggi untuk menguatkan dia mengarungi medan dakwah. Saya tersentuh
dengan ketawadhuannya. Dengan ilmu Bahasa arab yang dimilikinya (mimpi aja pake
b.arab kali …, ilmu fiqh dan lainnya). Rendah hati sekali dengan segala ilmunya
masih merasa kurang ilmu untuk meminta dicarikan pasangan perempuan matang
dalam dakwah dengan tsaqofah yang tinggi yang ada di kota saya waktu itu.
Terpilihlah usatdzah saya, Tidak
putih, tidak tinggi dan langsing. Serta pautan umur yang berbeda. tanpa banyak
ini itu… hanya hitungan bulan, pernikahan disiapkan. Jadilah pernikahan
tersebut dengan sederhana dan khidmat. Kini … saya mengenal mereka sebagai
pemilik dan pengasuh pondok pesantren di Ujung barat P.Jawa. memiliki anak yang
hafidzh Qur’an, berkeliling dakwah ke nusantara. Dan banyak buku buku terjemahan beliau saya kaji.
Apa yang diniatkan itulah yang
Allah wujudkan…
Satu lagi. Saya mengenal
mereka sejak awal, masing masing sangat gigih memperjuangkan dakwah di kota
saya. maasyaa Allah… ustadz muda ini
memilih pasangannya dengan diagram cartesius. Dengan segala data dan informasi
memberi bobot lebih pada tsaqofah dan kematangan dakwah akhwat kandidatnya… gak
bawa perasaan. Melainkan pakai hitungan matematika…terjadilah pernikahan dengan
ustadzah saya yang lain. Parade AL Liwa dan Ar Rayah mengantarkan pengantin
pria. Disambut kekhidmatan akad pernikahan yang hanya disiapkan 1 bulan tanpa
banyak pernak pernik tak perlu.
Dan kini pasangan tersebut
mengelola sekolah dengan basis tahfidz Qur’an dengan anaknya yang baru setara
SD sudah banyak hapal Qur’an. Gigih dalam dakwah… dan setiap perbincangan di
rumahnya adalah ilmu dan dakwah…
Apa yang diniatkan itulah yang
Allah wujudkan…
Saya melihat ada benang merah
antara cerita mark Zuckerberg ini dengan
para ustadz saya dalam memilih pasangan. Zuckerberg dengan pemikiran kapitalis
humanis nya menempatkan kecantikan fisik sebagai nilai yang rendah… dia
memiliki visi ideology sebagai manusia yang ingin membangun peradaban. Dan dia
butuh wanita secerdas Priscilla untuk
bersamanya dalam mengarungi medan kehidupan.
Begitu pun para ustadz saya,
mereka mengambil yang utama dari hadits berikut :
Dari Abu Hurairah – rhadiyallahu
anhu – dari Nabi Muhammad
SAW, beliau berkata: “Seorang perempuan dinikahi karena empat
perkara, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya,
(atau) karena agamanya. Pilihlah yang beragama, maka kau akan beruntung,
(jika tidak, semoga kau) menjadi miskin”.
Yaaa mereka pilih perempuan
karena agamanya. Bahkan lebih dari itu… mereka memilih perempuan-perempuan
tersebut karena agamanya menuntun mereka
dalam cita cita yang tinggi, yaitu membangun perdaban islam.
Tentu saja saya tidak ingin
membandingkan antara Zuckerberg dengan ustad-ustadz tersebut, it’s not apple to
apple. Intinya seharusnya seorang muslim malu bila dia menikah namun miskin visi perjuangan peradaban.
Zuckerberg yang bukan orang islam saja memiliki visi kuat atas ideologinya yang
ia gunakan untuk membangun peradaban versi dia.
Apabila seorang muslim memilih
pasangan karena fisiknya atau hartanya tentu saja masih sah di mata hukum syariah pernikahannya tersebut,
namun Nampak sekali miskin visinya dalam perjuangan pembangunan peradaban islam
. makin spesifik Visi dakwah itu dibangun tentu makin baik, ditambah dengan misi yang
konkret dan turunan program dalam keluarga yang akan dilaksanakan.
Ada baiknya kita belajar dari
pasangan berikut, para pejuang islam yang telah mencetak generasi penakluk.
Saya ambil dari buku “Muslimah negarawan” tulisan Fika Komara.
Sebagai gambaran kita bisa
lihat contoh real orangtua yang mampu membentuk karakter pemimpin dan penakluk
pada anak dengan cita cita besar menjadi keluarga pejuang peradaban islam.
Dialah orangtua Shalahudin al
ayyubi penakhluk Baitul Maqdis. Petikan percakapan calon ibu dan calon ayahnya
Shalahudin Al ayyubi:
Gadis itu menjawab, “Wahai,
Syaikh. Ia adalah sebaik-baik pemuda yang punya ketampanan dan kedudukan,
tetapi ia tidak cocok untukku.” Syaikh berkata, “Siapa yang kau inginkan?”
Gadis itu menjawab, “Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke
surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan
Baitul Maqdis kepada kaum muslimin."
Dia cocok untukku! Najmuddin
bagai disambar petir saat mendengar kata-kata wanita dari balik tirai itu.
Seketika itu Najmuddin berdiri dan memanggil sang Syaikh, “Aku ingin menikah
dengan gadis ini.”
Syaikh mulanya kebingungan.
Namun, akhirnya beliau menjawab dengan heran, “Mengapa? Dia gadis kampung yang
miskin.”
Najmuddin berkata, “Ini yang
aku inginkan. Aku ingin istri salihah yang menggandeng tanganku ke surga dan
melahirkan anak yang dia didik jadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul
Maqdis kepada kaum muslimin.”
Maka, menikahlah Najmuddin
Ayyub dengan gadis itu. Tak lama kemudian, lahirlah putra Najmuddin yang
menjadi ksatria yang mengembalikan Baitul Maqdis ke haribaan kaum muslimin.
Anak itu lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M. Namanya adalah Yusuf
bin Najmuddin al-Ayyubi atau lebih dikenal dengan nama SHALAHUDDIN AL AYYUBI.
Seorang pemimpin, ulama dan penakluk Yerussalem setelah 88 tahun dikuasai
serdadu Perang Salib.