Tawa
ibu-ibu di halaman sekolah kaka, anakku, terderai. Sepatu boot anakku
lepas, melenting jauh ke arah mainan jungkat-jungkit. Entah karena
tingkah anakku yang lucu ketika melepas sepatu atau justru karena
sepatunya itu ibu-ibu tertawa. Riuh! ibu-ibu berbisik di belakangku. Ada
beberapa yang terdengar, ada yang tidak. Tapi beberapa diantaranya
tentang sepatu anakku.
Ya.., sepatu berwarna biru.
Berbahan dasar plastik. Bentuknya sepatu boot. Sepatu itu mirip seperti
sepatu yang sering digunakan oleh Bapak pengangkut sampah yang lewat di
depan rumah kami. Pertemuan dengan bapak pengangkut sampah itu juga yang
membuat anakku merengek meminta dibelikan sepatu boot plastik. Apalagi
anak tetangga sebelah sudah membelinya lebih dulu.Entah dengan alasan
apa.
“Bunda, kaka mau sepatu bot” ujarnya sambil merengek.
‘Nanti
kalau sudah besar sayang, supaya bagus nanti bunda pesankan ke
cibaduyut, sepatu boot kulit tapi yang pendek saja” jawabku.
“Tapi kaka gak mau sepatu bot yang pendek, kaka ingin seperti mang sampah” timpalnya dengan sungguh-sungguh.
Aku tertegun. Bagaimana mungkin dia ingin sepatu seperti mang sampah?
Dan
hari-hari berikutnya, dia selalu meminta permainan menarik sampah.
Ayahnya diminta mengubah kardus bekas menjadi gerobak sampah. Dengan
sedikit sentuhan lakban, ayah kaka menempelkan stick drum kaka ke
kardus. Stick drum itu menjadi pegangan untuk menarik kardus yang
dianggap sebagai gerobak sampah.
Seiring dengan permainan
itu pula, rengekannya untuk membeli sepatu bot mengalir. Ungku kaka yang
tidak tahan mendengarnya suatu waktu mengajaknya ke pasar. Beliau pun
membelikannya.
Sejak itu, sepatu favorit kaka adalah
sepatu boot plastik berwarna biru. Padahal ada sepatu kaka yang lain;
sepatu kets warna coklat &sepatu boot kulit pendek seperti milik pak
polisi. Tapi kaka sering memilih Sepatu boot plastik biru. Jujur saya
malu bila kaka memakainya. Rasanya tidak pantas (matching) dengan
pakaiannya yang mana pun.
Berbeda dengan kaka, dia bangga
dengan sepatu boot plastik itu. Figur pertama yg diidentifikasinya tentu
bapak pengangkut sampah. Hampir tiap hari pada rentang waktu ini kaka
menunggu bapak pengangkut sampah lewat. Ketika sampai di depan rumah
kami, ia akan tersenyum, menyapa bapak pengangkut sampah dan membantu
bapak tersebut mengangkat sampah dari depan rumah kami. Selanjutnya
bapak pengangkut sampah akan mengangguk, tanda ia akan jalan lagi
menjalankan profesinya. Kemudian kaka akan mengantar bapak pengangkut
sampah dengan ujung matanya sampai tidak terlihat lagi.
Saya
tidak pernah berani untuk bertanya, kenapa kaka senang memakai sepatu
boot plastik itu. Cukup memahami bahwa dari sekian banyak bapak-bapak,
yang lewat dengan berbagai profesi ,di depan rumah kami, menurut kaka
anakku : tukang sampah lah yang nampak kesungguhannya dalam menjalani
profesinya.
Bukan Bapak dokter gigi yang lewat dengan
mobil mulusnya tanpa menyapa atau senyum kepada anak kecil yg dipanggil
kaka ini. Bukan bapak-bapak berbaju coklat yang pkl 13.00 atau 14.00
sudah santai di rumah atau juga bukan honorer yang belum diangkat tapi
punya rumah mentereng yang entah dari mana uang untuk membangunnya.
Kaka
anakku tidak mengenal apa itu strata sosial, yang diketahuinya adalah
apa yang nampak di matanya bahwa Bapak pengangkut sampah
bersungguh-sungguh bekerja membuat rumah dan lingkungannya menjadi
sehat. Setiap helaan nafas berat dari bapak pengangkut sampah dianggap
kaka sebagai kesungguhan. Setiap peluh yang perlahan mengalir di tubuh
bapak pengangkut sampah adalah kesabaran. Dan setiap tarikan awal
gerobak dari diam adalah semangat kehidupan yang meluap untuk kehidupan
yang lebih baik bagi keluarga.
Karena seseorang tidak
dilihat dari profesinya bukan? Melainkan dari kesungguhannya melakukan
pekerjaannya sesuai amanah & aturan yang diridhai Allah.
Manusia
dewasalah yang sering mengkotak-kotakan pekerjaan bernilai &
pekerjaan yang hina. Dan anak-anaklah yang dengan kejernihan hatinya
mampu menghormati pekerjaan apa pun asal sesuai dengan fitrah mereka
sebagai anak2 yaitu islam.
Sejak mendapat pembelajaran
itu, aku tidak merasa malu bila kaka ingin menggunakan sepatu boot
plastik itu. Pun ketika diidentikkan dengan pengangkut sampah. Memang
bapak pengangkut sampah itu banyak manfaatnya untuk kami. Pernah
seminggu bapak pengangkut sampah tidak datang. Halaman kami penuh lalat
dan bau tidak sedap, begitu pun rumah disekitar kami.
Ya,
sebaik2 manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Begitu kata
rasul. Maka tidak kuhiraukan tawa ibu2 dengan berbagai nada itu. Biasa
lah, ibu-ibu, ketika ada di halaman depan sekolah sering begitu. Ya...
mungkin memang bukan karena sepatunya. Bukan karena sepatu boot plastik
yang modelnya kampungan. Aku jadi memutar balik pikiranku. Tawa itu
mungkin memang karena anakku lucu & menggemaskan ketika membuka
sepatu. Hmmm...
penulis: Ekha Subara
Anak
penulis: Ekha Subara