Sebelum Jumatan tadi Ada suara laki-laki memberi salam di depan pintu rumahku. “Assalamu’alaikum! Assalamu’alaikum!” . “Wa ‘alaikum salam” ujarku. “Ka! Tolong lihat siapa yang datang ya!” ujarku menyeru anakku sambil membereskan piring tempat ia makan. “ Pak Pos , bunda!” setengah berteriak anakku menyampaikan. Seketika suamiku menghampiri pintu, membukanya dan menerima paket dari pak pos.
“Bunda dapat kiriman buku” ujar anakku sambil tersenyum dan memberikan paket tadi. Lalu Suamiku pamit ada urusan keluar. Tinggal aku & anakku duduk berhadapan. “Dari siapa bunda?” tanya anakku. Kubaca pengirimnya ternyata seorang sahabat yang kukenal ketika kuliah. “Dari teman bunda! “ jawabku. “Buku apa itu bunda?” tanya anakku lagi. “Nanti ya, bunda buka dulu & baca bukunya, nanti bunda ceritakan ke kaka isinya!” kataku untuk membujuk dia agar sabar.
Perlahan kubuka bungkus buku itu, tepat seperti dugaanku, buku yang datang adalah “ The Jilbab Traveler” karya Asma Nadia. Ada rasa bergetar ketika membuka halaman sampul buku itu, karena di baliknya ada tulisan To: Ephu Subara (Ini nama pena yg suka kugunakan ketika kuliah dan menjadi panggilan sayang sahabatku). Lalu ada coretan bentuk hati dan tulisan “Dream Big” selain itu ada juga tanda tangan Asma Nadia (Asli pake ballpoint). Aku tahu sahabatku memintakan tanda tangan itu khusus untukku. Dan yg membuatku terhenyak adalah tulisan “Dream Big”.
Tak terasa, air mataku mengalir. Rasanya sudah lama aku mengubur dalam-dalam kata “ Dream Big”. Pernikahan dan tanggung jawab sosialku terhadap umat membuatku secara sadar “tahu diri” atas apa yang ingin kulakukan. Termasuk di dalamnya melupakan keinginan untuk “Keliling Dunia”. Namun serasa ada kekuatan baru lagi ketika membaca tulisan di sampul buku itu :
Semua berawal dari impian.
Buku ini akan membuat
Keliling dunia bukan lagi
Sekadar impian.
Asma Nadia sudah
Membuktikan,
Dari gadis kecil yang tinggal
Di pinggir rel kereta api,
Hingga menjadi
Penulis traveler yang telah
Menjelajahi 130 kota di 30
Negara di dunia.
Dan kini permasalahannya bagiku bukan tentang perjalanan yang dilakukan, bukan lagi tentang keliling dunianya. Permasalahannya adalah tentang tujuan apa yang ingin dicapai dari perjalanan tersebut. Dengan siapa dan cara bagaimana perjalanan itu dilakukan serta konsekuensi apa yang lahir dan berdampak atas perjalanan tersebut bagi kehidupan.
Tentu aku sangat miris bila masih ada muslimah yang bepergian tanpa tujuan yang syar’i. Hanya ingin jalan-jalan dan mendapatkan kesenangan jasadiyah. Begitu juga aku akan sama mirisnya kepada muslimah yang masih menuding perjalanan seorang muslimah selalu untuk kesenangan. Banyak muslimah yang melakukan perjalanannya demi kondisi spiritual dan intelektualnya, termasuk aku.
Dan beberapa diantaranya lagi muslimah yang menulis di buku “The Jilbab Traveler”, aku cukup terkesan dengan dengan tulisan Dina Y. Sulaeman berjudul Ziarah ke Damaskus. Muslimah yang pernah kutelepon untuk urusan les hafidz Qur’an anakku dg metode thabathabai ini ketika masih tinggal di Iran pernah melakukan perjalanan bersama keluarganya ke Damaskus.
Pengalamannya di Damaskus, air ledengnya tidak bisa langsung diminum. Bagi dia yg orang Indonesia itu tidak terlalu jadi masalah, karena di Indonesia pun begitu. Tapi bagi teman-temannya yang orang Iran itu masalah karena di Iran terbiasa dengan air minum dari air ledeng yang higienis. Selidik punya selidik, permasalahan krisis air di Suriah akibat Dataran Tinggi Golan direbut dan diduduki Israel pada tahun 1967.
Dan keberhasilan perebutan dataran tinggi Golan terkait dengan nama Eli Cohen, orang Mossad (Intelijennya Israel) yg ditempatkan di Suriah. Namun karena kepaiawaiannya menyamar, pemerintah & pengusaha Suriah begitu mempercayainya sampai ia dipercaya masuk ke daerah vital Golan, hingga mampu memberikan informasi penting ttg Golan agar bisa direbut Israel.
Selain perjalanan itu memupuk kesadaran politik muslimah, satu hal lagi : perjalanan Dina Y.Sulaeman memupus stereotip yg terbenam di benaknya tentang kebengisan orang Arab. Setelah berkunjung ke Damaskus ketakutannya terhadap orang Arab pupus, berganti kesadaran mereka berakhlak karimah (versi saya). Ia menyadari kesalahannya dengan menulis “ Apalagi, bila kita ingat bahwa pengidentikan (Islam = Arab= Teror)adalah rekayasa media masa kapitalis yang ingin menyudutkan kaum muslimin ke pojok-pojok sejarah”
HHmmm masih banyak lagi pelajaran penting dari Damaskus dan kota-kota lainnya di dunia yg ditulis di “The Jilbab Traveler”. Maksudku menulis ini untuk mengingatkanku : Perjalanan apa pun itu terkait dengan pemaknaan & pembelajaran. Serta kepahaman ilmu untuk melakukan perjalanan itu. Kalaulah Allah memberi kesempatan, jadikan itu upaya mengenalNya lebih dekat.
Oh iya, aku akhirnya memberi penjelasan pada anakku, tapi akan kutulis versi dia di catatan kecil.
###
Catatan Kecil :
Pada malam harinya, ketika aku sudah rebahan di kamar, anakku dan ayahnya masih berbincang di ruang tengah. Samar-samar terdengar olehku. “Yah, tadi bunda nangis lho! “ ujar anakku dengan suara tercekat. “Wah, kenapa?” Tanya suamiku kaget. “Kata bunda, dulu waktu ia belum kenal ayah dan belum ada kaka, ia ingin pergi keliling dunia.” Sambil dg mata berkaca-kaca. “ terus gimana?” tanya suamiku lagi. “ Tapi karena ada kita, jadi gak bisa. Tapi setelah dikirim buku ini, bunda jadi ingin lagi, tapi sekarang bersama kita” dengan suara parau yg terbata. “ Oh iya, insya Allah” ujar suamiku sambil merangkul anakku.
Di dalam kamar aku kembali berkaca-kaca, itu memang cita-citaku, tapi lebih jauh dari itu, kini cita-citaku adalah pergi ke tempat yang paling indah. Tempat yang dindinganya dari emas dan perak, tempat yang didalamnya terdapat taman-taman dan buah-buahan yg bisa dipetik sesukanya, tempat yang mengalir sungai di dalamnya. Tempat yg kita tak pernah merasa bosan di dalamnya karena diciptakan berbeda dengan apa yg pernah dilihat dan didengar di dunia. Ya... dan seorang “traveler sejati” tentu tidak akan melewatkan tujuan ini dibanding Edinburgh, Switzerland, Italia dan ratusan kota lainnya di dunia. Tapi aku ingin pergi ke tempat paling indah itu tidak sendiri, tapi bersama suami, anak-anakku, keluarga dan sahabat-sahabat yang telah membeli tiket dengan harga yang pantas kepada pemiliknya. Semoga... berbondong-bondong kita ke syurga... Amin.
penulis: Ekha Subara
Keluarga
“Bunda dapat kiriman buku” ujar anakku sambil tersenyum dan memberikan paket tadi. Lalu Suamiku pamit ada urusan keluar. Tinggal aku & anakku duduk berhadapan. “Dari siapa bunda?” tanya anakku. Kubaca pengirimnya ternyata seorang sahabat yang kukenal ketika kuliah. “Dari teman bunda! “ jawabku. “Buku apa itu bunda?” tanya anakku lagi. “Nanti ya, bunda buka dulu & baca bukunya, nanti bunda ceritakan ke kaka isinya!” kataku untuk membujuk dia agar sabar.
Perlahan kubuka bungkus buku itu, tepat seperti dugaanku, buku yang datang adalah “ The Jilbab Traveler” karya Asma Nadia. Ada rasa bergetar ketika membuka halaman sampul buku itu, karena di baliknya ada tulisan To: Ephu Subara (Ini nama pena yg suka kugunakan ketika kuliah dan menjadi panggilan sayang sahabatku). Lalu ada coretan bentuk hati dan tulisan “Dream Big” selain itu ada juga tanda tangan Asma Nadia (Asli pake ballpoint). Aku tahu sahabatku memintakan tanda tangan itu khusus untukku. Dan yg membuatku terhenyak adalah tulisan “Dream Big”.
Tak terasa, air mataku mengalir. Rasanya sudah lama aku mengubur dalam-dalam kata “ Dream Big”. Pernikahan dan tanggung jawab sosialku terhadap umat membuatku secara sadar “tahu diri” atas apa yang ingin kulakukan. Termasuk di dalamnya melupakan keinginan untuk “Keliling Dunia”. Namun serasa ada kekuatan baru lagi ketika membaca tulisan di sampul buku itu :
Semua berawal dari impian.
Buku ini akan membuat
Keliling dunia bukan lagi
Sekadar impian.
Asma Nadia sudah
Membuktikan,
Dari gadis kecil yang tinggal
Di pinggir rel kereta api,
Hingga menjadi
Penulis traveler yang telah
Menjelajahi 130 kota di 30
Negara di dunia.
Dan kini permasalahannya bagiku bukan tentang perjalanan yang dilakukan, bukan lagi tentang keliling dunianya. Permasalahannya adalah tentang tujuan apa yang ingin dicapai dari perjalanan tersebut. Dengan siapa dan cara bagaimana perjalanan itu dilakukan serta konsekuensi apa yang lahir dan berdampak atas perjalanan tersebut bagi kehidupan.
Tentu aku sangat miris bila masih ada muslimah yang bepergian tanpa tujuan yang syar’i. Hanya ingin jalan-jalan dan mendapatkan kesenangan jasadiyah. Begitu juga aku akan sama mirisnya kepada muslimah yang masih menuding perjalanan seorang muslimah selalu untuk kesenangan. Banyak muslimah yang melakukan perjalanannya demi kondisi spiritual dan intelektualnya, termasuk aku.
Dan beberapa diantaranya lagi muslimah yang menulis di buku “The Jilbab Traveler”, aku cukup terkesan dengan dengan tulisan Dina Y. Sulaeman berjudul Ziarah ke Damaskus. Muslimah yang pernah kutelepon untuk urusan les hafidz Qur’an anakku dg metode thabathabai ini ketika masih tinggal di Iran pernah melakukan perjalanan bersama keluarganya ke Damaskus.
Pengalamannya di Damaskus, air ledengnya tidak bisa langsung diminum. Bagi dia yg orang Indonesia itu tidak terlalu jadi masalah, karena di Indonesia pun begitu. Tapi bagi teman-temannya yang orang Iran itu masalah karena di Iran terbiasa dengan air minum dari air ledeng yang higienis. Selidik punya selidik, permasalahan krisis air di Suriah akibat Dataran Tinggi Golan direbut dan diduduki Israel pada tahun 1967.
Dan keberhasilan perebutan dataran tinggi Golan terkait dengan nama Eli Cohen, orang Mossad (Intelijennya Israel) yg ditempatkan di Suriah. Namun karena kepaiawaiannya menyamar, pemerintah & pengusaha Suriah begitu mempercayainya sampai ia dipercaya masuk ke daerah vital Golan, hingga mampu memberikan informasi penting ttg Golan agar bisa direbut Israel.
Selain perjalanan itu memupuk kesadaran politik muslimah, satu hal lagi : perjalanan Dina Y.Sulaeman memupus stereotip yg terbenam di benaknya tentang kebengisan orang Arab. Setelah berkunjung ke Damaskus ketakutannya terhadap orang Arab pupus, berganti kesadaran mereka berakhlak karimah (versi saya). Ia menyadari kesalahannya dengan menulis “ Apalagi, bila kita ingat bahwa pengidentikan (Islam = Arab= Teror)adalah rekayasa media masa kapitalis yang ingin menyudutkan kaum muslimin ke pojok-pojok sejarah”
HHmmm masih banyak lagi pelajaran penting dari Damaskus dan kota-kota lainnya di dunia yg ditulis di “The Jilbab Traveler”. Maksudku menulis ini untuk mengingatkanku : Perjalanan apa pun itu terkait dengan pemaknaan & pembelajaran. Serta kepahaman ilmu untuk melakukan perjalanan itu. Kalaulah Allah memberi kesempatan, jadikan itu upaya mengenalNya lebih dekat.
Oh iya, aku akhirnya memberi penjelasan pada anakku, tapi akan kutulis versi dia di catatan kecil.
###
Catatan Kecil :
Pada malam harinya, ketika aku sudah rebahan di kamar, anakku dan ayahnya masih berbincang di ruang tengah. Samar-samar terdengar olehku. “Yah, tadi bunda nangis lho! “ ujar anakku dengan suara tercekat. “Wah, kenapa?” Tanya suamiku kaget. “Kata bunda, dulu waktu ia belum kenal ayah dan belum ada kaka, ia ingin pergi keliling dunia.” Sambil dg mata berkaca-kaca. “ terus gimana?” tanya suamiku lagi. “ Tapi karena ada kita, jadi gak bisa. Tapi setelah dikirim buku ini, bunda jadi ingin lagi, tapi sekarang bersama kita” dengan suara parau yg terbata. “ Oh iya, insya Allah” ujar suamiku sambil merangkul anakku.
Di dalam kamar aku kembali berkaca-kaca, itu memang cita-citaku, tapi lebih jauh dari itu, kini cita-citaku adalah pergi ke tempat yang paling indah. Tempat yang dindinganya dari emas dan perak, tempat yang didalamnya terdapat taman-taman dan buah-buahan yg bisa dipetik sesukanya, tempat yang mengalir sungai di dalamnya. Tempat yg kita tak pernah merasa bosan di dalamnya karena diciptakan berbeda dengan apa yg pernah dilihat dan didengar di dunia. Ya... dan seorang “traveler sejati” tentu tidak akan melewatkan tujuan ini dibanding Edinburgh, Switzerland, Italia dan ratusan kota lainnya di dunia. Tapi aku ingin pergi ke tempat paling indah itu tidak sendiri, tapi bersama suami, anak-anakku, keluarga dan sahabat-sahabat yang telah membeli tiket dengan harga yang pantas kepada pemiliknya. Semoga... berbondong-bondong kita ke syurga... Amin.
penulis: Ekha Subara