Sudah sekira sebulan di rumah tidak dihidupkan TV. Ternyata tidak terlalu luar biasa. hal yang tidak terbayangkan sebelumnya bisa terjadi, Dulu (waktu remaja-> kesannya sekarang begitu tua hehe) rasanya tidak mungkin hidup tanpa ditemani tv.
Beralih ke masa "memilih" ketika masih kuliah. Tentu saja karena keterbatasan waktu dan sedikit pengetahuan tentang baik & buruk dari Allah ta'ala. Maka berita dan beberapa momen variety show "booming" jadi pilihan. Di masa ini sudah merasa "alergi" dengan sinetron.
Sekarang setelah menjadi ibu, dengan saringan pemikiran yang sekuat tenaga dideskripsikan: memilih tidak menghidupkan tv. Untuk kebaikan saya, suami & anak.
Dengan segala kerendahan hati serta penghargaan kepada pembuat siaran tv berikut (Paul Gottlieh Nipkow & John Logie Baird) peretas sejarah TV saya hanya bisa berkata:
Anak saya yang masih balita perlu jenis suara yang lebih sederhana dibanding suara sub woofer dengan kompleksitas suara di waktu yang bersamaan. Saya ingin anak saya mendengar lebih jelas percik air yang menetes ketika ia cuci tangan . saya ingin ia mendengar hembusan angin yang menyelesap lewat kawat ram di atas kolam kecilnya terdengar seperti tiupan semesta yang berbisik lirih untuknya. saya ingin dia mampu mendengar kicau burung tetangga sebelah yang dititip di halaman rumah saya begitu merdunya.
terlebih lagi, saya ingin ketika adzan berkumandang dia bisa merespon dengan cepat & terbiasa dengan pola kalimah thoyibah. Satu hal lagi, saya ingin nasihat dari suara ibunya yang tidak terlalu merdu ini memiliki pesona dibanding suara2 di tv.
Karena anak saya masih balita, matanya terlalu lelah menerima paparan gambar yang berubah tiap detik dengan megahnya. Melihat warna-warna terang menyilaukan. saya ingin dia merasakan sensasi warna yang lain. Hijaunya lumut Marchantiophyta (Hepaticophyta) yang menempel di bawah pagar depan rumah. saya ingin dia bisa melihat semburat kuning keemasan dari bulu warna coklat kuda sewaan yang ia naiki sore hari. saya ingin dia memiliki pengetahuan bentuk daun yang beraneka di kebun dan sawah yang ia lewati dalam perjalanan ke rumah ungku (kakek)nya.
terlebih lagi, saya ingin dia lebih mengenal gambar lengkung2 sederhana huruf hijaiyah yang selama ini diopinikan rumit. saya ingin, garis wajah teman & saudaranya seiman lebih ia kenal berikut roman raut wajahnya yang menggambarkan kegembiraan, kesedihan dan keharuan karena berbagai ujian dari Allah S.W.T.
Sensitivitas & kehidupan nyata! mungkin itu yang saya maksudkan dari aksi saya tidak menghidupkan tv di rumah saya. berapa banyak anak yang kurang sensitivitasnya (bahkan ketika dipanggil ibunya dengan teriak) berkurang karena konsumsi berlebihan terhadap tv. Dan berapa banyak indera anak2 yang terlumpuhkan karena tv.
Saya berduka cita bagi anak2 yang belum merasakan tekstur Lycopodium cernuum L & cynodon dactylon. Bau tanah selepas hujan dan raut muka haru orang tua karena bangga kepada mereka
bersambung >>>
penulis: Ekha Subara