Masih Tentang TV (tapi bukan sambungan " bukan Anti Tv")

Inspirasi Islami Perempuan, Keluarga dan Anak

Selasa, 07 Agustus 2012

Masih Tentang TV (tapi bukan sambungan " bukan Anti Tv")

Masih Tentang TV

Maaf! Peringatan dulu bagi yang mau baca : Tulisan ini diambil dari kisah nyata senyata-nyatanya. Yang mungkin tidak hanya menimpa keluarga teman saya. Dan tulisan ini mungkin semacam tulisan klise sehingga mungkin akan sangat membosankan untuk dibaca. Saking banyak keluarga yang mengalami tema setipe ini.

Tapi kalau tetap memaksa untuk membaca, saya persilakan juga.

Ada kesamaan antara saya & teman saya : sama-sama tidak menonton tv. Bedanya di rumah saya masih ada tv tapi saya berniat secara ideologis tidak menghidupkan tv sedangkan teman saya & keluarganya punya alasan lain. Di satu forum dengan terisak ia menuturkan " TV itu dijual! ". Tangisan itu tentu bukan untuk TVnya. Ada kepedihan mendalam di balik itu.

Dengan terbata ia mengisahkan, " Adik saya masuk SMK butuh biaya 6 Juta ... uang yg harus dibayar di awal sejuta sekian, maka ibu menjual tv". Tidak aneh, tv yang menjadi sasaran untuk dijual. Rasanya memang tidak ada lagi barang berharga di rumah itu selain tv.

Padahal tv itu baru ada di rumah itu sekira 6 bulan.  Bertahun-tahun lamanya saya sering datang ke rumah tersebut tidak ada tv disitu. Baru ketika ibu teman saya pulang dari Malaysia setelah 2 tahun lamanya bekerja disana, tv itu terbeli. Itu pun bukan dari uang langsung ibunya.

Ibunya berjanji setelah pulang dari malaysia, adik bungsu teman saya akan dikhitan. Dari sekumpulan uang pemberian tamu undanganlah tv itu bisa terbeli.

Namun, baru beberapa bulan, tv itu dijual.

Menurut teman saya, ibunyalah yang memaksakan diri agar adiknya bisa sekolah. " Bukan agar bisa memberi ibunya uang setelah bekerja nanti selepasa lulus sekolah, tapi agar anaknya jadi orang yang benar. " tuturnya. Masih menurut teman saya, Ibunya berkata " Meski saat ini, ibu tidak punya uang. Ibu yakin suatu saat ibu punya uang untuk melunasi biaya masuk sekolah. Karena Ibu yakin dengan Rezeki dari Allah "

Subhanallah, saya tergetar mendengar kata-kata ibu teman saya. Dengan kelemah lembutannya, ia mampu menanggung beban keluarga setelah ditinggalkan suaminya. Bahkan lebih jauh lagi, ia mampu menanggung beban negara atas anaknya.

satu hal yang ibu teman saya pahami, anaknya wajib & berhak sekolah. Namun ternyata pembelajaran saat ini menjadi barang dagangan. Ada perusahaan yang besar sekali  sedang jualan. Pembelinya orang-orang seperti ibu teman saya juga orang tua lainnya.

Tentu saja, ibu teman saya tidak bisa beli barang yang berkualitas baik. Dengan uang hasil jual tv hanya cukup membeli kursi sisa. Tidak bisa beli barang bermerk label "internasional" dengan fasilitas AC & bahasa pengantar bahasa asing.

Punya kursi & ada guru saja sudah alhamdulillah. Tiga tahun lagi tunggu ijasah.

Dan, ibu teman saya mungkin berfikir. betapa untung besar perusahaan itu. Konon katanya bukan hanya pembelajaran yang jadi barang dagangannya. Ada divisi penjualan kesehatan, laut dan pulau. memang di zaman kemerdekaan ini apa saja konon bisa dijual. Dan selalu ada pembeli setia menanti. Merdeka!

Catatan kaki yang mungkin  tidak nyambung:
Dalam islam, pembelajaran tidak boleh jadi barang dagangan. Pendidikan menjadi kewajiban negara atas rakyatnya. hal ini seperti kebijakan Rasulullah saw yg pernah menetapkan tawanan Perang Badar untuk mengajar 10 orang penduduk madinah dalam hal baca & tulis untuk bisa dibebaskan.

penulis: Ekha Subara