Maaf!
Peringatan dulu bagi yang mau baca : Tulisan ini diambil dari kisah
nyata senyata-nyatanya. Yang mungkin tidak hanya menimpa keluarga teman
saya. Dan tulisan ini mungkin semacam tulisan klise sehingga mungkin
akan sangat membosankan untuk dibaca. Saking banyak keluarga yang
mengalami tema setipe ini.
Tapi kalau tetap memaksa untuk membaca, saya persilakan juga.
Ada
kesamaan antara saya & teman saya : sama-sama tidak menonton tv.
Bedanya di rumah saya masih ada tv tapi saya berniat secara ideologis
tidak menghidupkan tv sedangkan teman saya & keluarganya punya
alasan lain. Di satu forum dengan terisak ia menuturkan " TV itu dijual!
". Tangisan itu tentu bukan untuk TVnya. Ada kepedihan mendalam di
balik itu.
Dengan terbata ia mengisahkan, " Adik saya
masuk SMK butuh biaya 6 Juta ... uang yg harus dibayar di awal sejuta
sekian, maka ibu menjual tv". Tidak aneh, tv yang menjadi sasaran untuk
dijual. Rasanya memang tidak ada lagi barang berharga di rumah itu
selain tv.
Padahal tv itu baru ada di rumah itu sekira 6
bulan. Bertahun-tahun lamanya saya sering datang ke rumah tersebut
tidak ada tv disitu. Baru ketika ibu teman saya pulang dari Malaysia
setelah 2 tahun lamanya bekerja disana, tv itu terbeli. Itu pun bukan
dari uang langsung ibunya.
Ibunya berjanji setelah pulang
dari malaysia, adik bungsu teman saya akan dikhitan. Dari sekumpulan
uang pemberian tamu undanganlah tv itu bisa terbeli.
Namun, baru beberapa bulan, tv itu dijual.
Menurut
teman saya, ibunyalah yang memaksakan diri agar adiknya bisa sekolah. "
Bukan agar bisa memberi ibunya uang setelah bekerja nanti selepasa
lulus sekolah, tapi agar anaknya jadi orang yang benar. " tuturnya.
Masih menurut teman saya, Ibunya berkata " Meski saat ini, ibu tidak
punya uang. Ibu yakin suatu saat ibu punya uang untuk melunasi biaya
masuk sekolah. Karena Ibu yakin dengan Rezeki dari Allah "
Subhanallah,
saya tergetar mendengar kata-kata ibu teman saya. Dengan kelemah
lembutannya, ia mampu menanggung beban keluarga setelah ditinggalkan
suaminya. Bahkan lebih jauh lagi, ia mampu menanggung beban negara atas
anaknya.
satu hal yang ibu teman saya pahami, anaknya
wajib & berhak sekolah. Namun ternyata pembelajaran saat ini menjadi
barang dagangan. Ada perusahaan yang besar sekali sedang jualan.
Pembelinya orang-orang seperti ibu teman saya juga orang tua lainnya.
Tentu
saja, ibu teman saya tidak bisa beli barang yang berkualitas baik.
Dengan uang hasil jual tv hanya cukup membeli kursi sisa. Tidak bisa
beli barang bermerk label "internasional" dengan fasilitas AC &
bahasa pengantar bahasa asing.
Punya kursi & ada guru saja sudah alhamdulillah. Tiga tahun lagi tunggu ijasah.
Dan,
ibu teman saya mungkin berfikir. betapa untung besar perusahaan itu.
Konon katanya bukan hanya pembelajaran yang jadi barang dagangannya. Ada
divisi penjualan kesehatan, laut dan pulau. memang di zaman kemerdekaan
ini apa saja konon bisa dijual. Dan selalu ada pembeli setia menanti.
Merdeka!
Catatan kaki yang mungkin tidak nyambung:
Dalam
islam, pembelajaran tidak boleh jadi barang dagangan. Pendidikan
menjadi kewajiban negara atas rakyatnya. hal ini seperti kebijakan
Rasulullah saw yg pernah menetapkan tawanan Perang Badar untuk mengajar
10 orang penduduk madinah dalam hal baca & tulis untuk bisa
dibebaskan.
penulis: Ekha Subara