Dampak Kenaikan Harga BBM
Sektor Rumah Tangga pasca kenaikan BBM semakin susah. Pemasukan keluarga yang tidak seberapa harus diatur untuk pengeluaran yang luar biasa. Kebanyakan bukan untuk gaya hidup tinggi. Hidup normal bersahaja saja untuk zaman sekarang sudah sulit. Apalagi ingin berkecukupan. Faktanya barang-barang kebutuhan pokok saja tinggi-tinggi harganya.
Kenaikan harga BBM dianggap biang kerok tentunya. Karena hampir semua barang didistribusikan oleh angkutan menggunakan energi dari BBM. Efek domino tentu terjadi ketika salah satu faktor produksi naik harganya berimbas pada harga dasar. Kenaikan harga pasti terjadi. Inilah yang menjadi beban bagi rumah tangga.
Tulisan ini bukan untuk hitung-hitungan defisit produksi dan konsumsi BBM di Indonesia . Atau bukan untuk pembahasan rincian kolom pendapatan dan pengeluaran di APBN khususnya berkaitan subsidi, serta tori-teori lainnya yang secara teknis matematis bisa dihitung.
Satu hal mendasar yang ingin dibicarakan disini adalah konsep sudut pandang pemerintah terhadap sektor rumah tangga, keluarga dan rakyat secara umum. Apakah sebagai pelayan? Atau sebagai penjual?
Liberalisasi Migas si Biang Kerok
Mudah dipahami, kenaikan harga BBM itu akibat logis dari liberalisasi sektor energi. Kenaikan BBM merupakan Salah satu amanat UU Migas No. 22/2001 yang menyerahkan harga ke mekanisme pasar, seperti yang disebutkan dalam pasal 2. Hal ini kemudian dikuatkan oleh Perpres No. 5/2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c. Selanjutnya kebijakan tersebut diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM.
Meski banyak alasan manis untuk pemberlakuan harga pasar ini semisal pemberdayaan BUMN agar lebih dinamis, transparan, kompetitif, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham serta lainnnya. Kita pun bisa melihat sisi lain hal ini berkaitan dengan kepentingan pihak asing yang ingin menguasai SDA Indonesia.
“Subsidi” premium membuat harga antara SPBU Pertamina dan SPBU perusahaan asing jauh lebih murah untuk SPBU Pertamina. Karena itu, SPBU asing hanya bisa menjual pertamak. Hal ini membuat mereka menuntut agar ada regulasi yang membatasi pemakaian BBM bersubsidi agar mereka bisa meraup keuntungan yang besar. Lebih jauh lagi, kalaulah harga premium bisa mendekati harga pertamax tentu persaingan antara SPBU Pertamina dan asing semakin ringan.
Tidak aneh, dengan kenaikan BBM ini perusahaan minyak asing bergembira. Terbuka lebar jalan untuk menguasai SDA Indonesia. Di sektor hulu menurut data produksi ESDM 2009, dari total produksi minyak dan kondensat di Indonesia, Pertamina hanya mampu memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta khususnya asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%).
Adapun liberalisasi sektor hilir membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran Migas. Pada tahun 2004 saja sudah terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir Migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004)
Kalaulah sudut pandang terhadap rumah tangga sebagai pelayan tentu tidaklah mungkin mengorbankan kepentingan sektor rumah tangga demi kepentingan pihak asing. Namun apabila pemahaman kapitalistik (Neoliberal) berkembang menjadi sudut pandang, tidak aneh berbagai SDA Indonesia ini diprivatisasi (baca : dijual) khusunya bagi pihak asing. Negara tidak memiliki keuntungan kecuali segelintir orang yang berkepenyingan dengan pihak asing ini.
Meski banyak alasan manis untuk pemberlakuan harga pasar ini semisal pemberdayaan BUMN agar lebih dinamis, transparan, kompetitif, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham serta lainnnya. Kita pun bisa melihat sisi lain hal ini berkaitan dengan kepentingan pihak asing yang ingin menguasai SDA Indonesia.
“Subsidi” premium membuat harga antara SPBU Pertamina dan SPBU perusahaan asing jauh lebih murah untuk SPBU Pertamina. Karena itu, SPBU asing hanya bisa menjual pertamak. Hal ini membuat mereka menuntut agar ada regulasi yang membatasi pemakaian BBM bersubsidi agar mereka bisa meraup keuntungan yang besar. Lebih jauh lagi, kalaulah harga premium bisa mendekati harga pertamax tentu persaingan antara SPBU Pertamina dan asing semakin ringan.
Tidak aneh, dengan kenaikan BBM ini perusahaan minyak asing bergembira. Terbuka lebar jalan untuk menguasai SDA Indonesia. Di sektor hulu menurut data produksi ESDM 2009, dari total produksi minyak dan kondensat di Indonesia, Pertamina hanya mampu memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta khususnya asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%).
Adapun liberalisasi sektor hilir membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran Migas. Pada tahun 2004 saja sudah terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir Migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004)
Kalaulah sudut pandang terhadap rumah tangga sebagai pelayan tentu tidaklah mungkin mengorbankan kepentingan sektor rumah tangga demi kepentingan pihak asing. Namun apabila pemahaman kapitalistik (Neoliberal) berkembang menjadi sudut pandang, tidak aneh berbagai SDA Indonesia ini diprivatisasi (baca : dijual) khusunya bagi pihak asing. Negara tidak memiliki keuntungan kecuali segelintir orang yang berkepenyingan dengan pihak asing ini.
Rumah tangga Menyikapi Kenaikan harga BBM
Bagaimana pun juga, kenaikan harga BBM sudah diputuskan. Dengan ataupun tanpa beban harga-harga barang yang tinggi kaum muslimin diperintahkan menjauhi sikap israf dan tabdzir dalam konsumsi. Baik untuk BBM, makanan, pakaian dan hal lainnya.
Seperti firman Allah :
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berle¬bih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah : "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk ham¬bah-hambah-Nya dan siapa pulakah yang mengharamkan rizki yang baik?" (Al A'raf: 31 - 32).
Dan firman Allah :
Seperti firman Allah :
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berle¬bih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah : "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk ham¬bah-hambah-Nya dan siapa pulakah yang mengharamkan rizki yang baik?" (Al A'raf: 31 - 32).
Dan firman Allah :
"Dan berikan kepada keluarga-keluarga terdekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang berada dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan harta-hartamu secara boros. Sesunggunya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan." (QS : Al Isro': 26-27).
Namun, disamping itu sebagai sesama muslim diwajibkan saling menasihati & amar ma’ruf nahi munkar. Termasuk ke penguasa. Berkaitan hal ini perlu diingatkan bahwa :
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Api, dalam pengertian energi, termasuk minyak dan gas bumi, dengan demikian termasuk milik umum yang harus dikelola oleh negara dengan segenap kewenanganannya sehingga mampu mendistribusikan kekayaan ini dengan sebaik-baiknya kepada seluruh masyarakat.
Kekayaan alam milik umat ini, diamanatkan pada penguasa bukan untuk diberikan penguasaannya kepada pihak asing. Allah swt mengingatkan :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS: An-Nisa: 141)
Dengan hal ini, ketika penguasaan negara atas SDAnya penuh, maka keuntungan yang didapat negara lebih banyak. Hal ini dapat membiayai sektor pendidikan dan kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Beban rumah tangga berkurang dalam dua sektor ini akan membuat ekonomi bergairah.
Tentu sudut pandang ini hanya ada pada sistem syariah dibawah Khilafah Islamiyyah, sebuah sistem yang bersumber dari Aqidah Islam dan mengatur seluruh urusan masyarakat dengan syariat Islam termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam sehingga memberi rahmat bagi semua, baik muslim maupun non muslim. Bukan pada sistem kapitalistik neo liberal. []
Opini
Namun, disamping itu sebagai sesama muslim diwajibkan saling menasihati & amar ma’ruf nahi munkar. Termasuk ke penguasa. Berkaitan hal ini perlu diingatkan bahwa :
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Api, dalam pengertian energi, termasuk minyak dan gas bumi, dengan demikian termasuk milik umum yang harus dikelola oleh negara dengan segenap kewenanganannya sehingga mampu mendistribusikan kekayaan ini dengan sebaik-baiknya kepada seluruh masyarakat.
Kekayaan alam milik umat ini, diamanatkan pada penguasa bukan untuk diberikan penguasaannya kepada pihak asing. Allah swt mengingatkan :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS: An-Nisa: 141)
Dengan hal ini, ketika penguasaan negara atas SDAnya penuh, maka keuntungan yang didapat negara lebih banyak. Hal ini dapat membiayai sektor pendidikan dan kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Beban rumah tangga berkurang dalam dua sektor ini akan membuat ekonomi bergairah.
Tentu sudut pandang ini hanya ada pada sistem syariah dibawah Khilafah Islamiyyah, sebuah sistem yang bersumber dari Aqidah Islam dan mengatur seluruh urusan masyarakat dengan syariat Islam termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam sehingga memberi rahmat bagi semua, baik muslim maupun non muslim. Bukan pada sistem kapitalistik neo liberal. []