“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. 4:21).”
Rumahku Surgaku
Pernikahan adalah ikatan suci yang sakral. Namun bukan berarti itu menjadi hubungan kaku seperti akad hitam di atas putih, bermaterai. Mitsaqon ghalidzon adalah pagar yang mendefinisikan ruang bagi bangunan rumah tangga. Sesungguhnya rumah tangga itu sendiri dibangun dengan cinta kasih.
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْم يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS ar-Rum [30]: 21)
Imam al ghazaly berkata tentang perkawinan, “ Perkawinan adalah penenangan jiwa & kesenangan kepada istri , yaitu tatkala bersanding bersamanya , memandang & bercanda . perkawinan juga menentramkan hati & menambah kekuatan untuk beribadah. Karena jiwa itu mudah jemu lalu menghindari kebenaran. Sebab ia berbeda dengan tabiatnya. Andaikata jiwa terus menerus dibebani sesuatu yang kurang disukai , maka ia akan berteriak dan lari . Namun jika sekali waktu ia dihibur dengan kesenangan , maka ia menjadi kuat & bersemangat.”
Ali bin Abu Thalib berkata , “Tentramkanlah hati kalian barang sejenak. Karena jika dipaksa terus, maka ia bisa menjadi buta”
Subhanallah, rumah yang penuh cinta kasih ibarat surga di dunia. Orang yang memasukinya akan merasa tenang & tentram. Disana ada pasangan hati yang menentramkan serta anak-anak yang menjadi hiasan mata. Seperti doa :
Imam al ghazaly berkata tentang perkawinan, “ Perkawinan adalah penenangan jiwa & kesenangan kepada istri , yaitu tatkala bersanding bersamanya , memandang & bercanda . perkawinan juga menentramkan hati & menambah kekuatan untuk beribadah. Karena jiwa itu mudah jemu lalu menghindari kebenaran. Sebab ia berbeda dengan tabiatnya. Andaikata jiwa terus menerus dibebani sesuatu yang kurang disukai , maka ia akan berteriak dan lari . Namun jika sekali waktu ia dihibur dengan kesenangan , maka ia menjadi kuat & bersemangat.”
Ali bin Abu Thalib berkata , “Tentramkanlah hati kalian barang sejenak. Karena jika dipaksa terus, maka ia bisa menjadi buta”
Subhanallah, rumah yang penuh cinta kasih ibarat surga di dunia. Orang yang memasukinya akan merasa tenang & tentram. Disana ada pasangan hati yang menentramkan serta anak-anak yang menjadi hiasan mata. Seperti doa :
Rumahku Nerakaku
Tidak jarang kita kita temui rumah yang justru seperti neraka di dunia. Tidak ada ketentraman & ketenangan di dalamnya. Hal ini karena bentuk rumah tangganya “ barak militer”. Yang terdengar dari rumah tangga ini hanya perintah-perintah atau komando-komando layaknya jendral kepada kopralnya. Bila si kopral tidak melaksanakan atau lalai menjalankan tugas, maka konsekwensinya adalah hukuman, baik berupa umpatan atau bahkan pukulan. Di sini tidak ada suasana dialogis yang mesra, anggota keluarga yang berperan sbg kopral, selalu merasa tertekan dan takut bila ada sang jendral di rumah, dan selalu berdoa dan berharap agar sang jendral segera berlalu keluar rumah.
selain itu juga, ada rumah tangga “ ring tinju” .Bila suami dan istri merasa memiliki derajat, kekuatan dan posisi yang setara serta pendapatnya lah yang benar dan harus terlaksana. Bila ada
perbedaan dan salah faham sedikit saja, maka digelarlah “pertandingan” yang dapat berupa, baku cekcok, baku hantam atau baku UFO (piring terbang). Masing-masing berusaha membuat KO lawannya dengan berbagai taktik.Tidak ada kata damai sebelum salah satunya menyerah.
Atau bahkan bisa jadi bentuk rumahtangganya adalah “Perusahaan komersil” Pada awal dibinanya rumah tangga ini telah dihitung-hitung berapa keuntungan materi yang akan diperoleh, bila aku menikah dengan si fulan, berapa tabunganku akan bertambah saat menikah dan setelah menikah.
Apa pasanganku nanti dapat menambah hartaku atau malah akan mengurangi. Dan bila kami nanti punya anak, berapa anak yang kira-kira dapat menguntungkan usaha yang kami jalankan saat ini dst. Perbincangan yang terjadi adalah perbincangan seputar ekonomi. Berapa pemasukan, pengeluaran , target barang yang akan dibeli, inventarisasi barang dll.
Rumah tangga seperti ini banyak sekali ditemukan di negara Barat yang hanya berfikir pada materi. Padahal Allah telah berfirman: “Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, merekalah itu yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. 34:37)
Ketika Godaan Menerpa keluarga Aktivis Dakwah!
Tidak bisa dipungkiri, kadang-kadang rumah tangga aktivis dakwah pun terjebak ke dalam bentuk rumah tangga yang demikian. Niat awal menikah untuk menyempurnakan separo agama tersesat seiring perjalanan yang jauh dalam membina rumah tangga. Apalagi gempuran sikap konsumtif, modernitas & materialisme merasuk ke seluruh sendi kehidupan.
Orientasi hidup aktivis dakwah jadi berputar pada materi. Demi memenuhi target materi tertentu, seringkali istri pun dibebani aktivitas mencari nafkah di luar rumah. Kalau kita menilik kehidupan para istri nabi. Terdapat pelajaran yang baik atas hal tersebut :
Berkata Mahmud al-Lusy dalam rûh al-ma'ânî mengutip hadis yang ditakhrij oleh Bazzar :
عن أنس قال جئن النساء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلن : يا رسول الله ذهب الرجال بالفضل والجهاد في سبيل الله تعالى فهل لنا عمل ندرك به فضل المجاهدين في سبيل الله تعالى فقال عليه الصلاة والسلام : « من قعدت منكن في بيتها فإنها تدرك عمل المجاهدين في سبيل الله تعالى »
Dari Anas bin Malik, berkata, telah datang istri-istri nabi SAW, dan mereka (para istri) berkata : Hai rasulallah, para lelaki telah pergi berjihad di jalan Allah. Lalu apakah bagi kita (para wanita) ada perbuatan yang pahalanya sama dengan para mujahid yang berjihad di jalan Allah ? maka berkata rasulullah SAW : barang siapa yang duduk di rumah kalian, maka sesungguhnya dia sudah menemukan pahala seorang mujahid yang berjihad di jalan Allah.
Karena itu turun ayat yang berkaitan tentang hal tersebut:
: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ“
Dan hendaklah kamu tetap(tinggal) dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya (Al-Ahzab :33)
Di dalam hidup ini kita akan selalu dirisaukan dengan kelaparan, kefakiran dan ketakutan karena memang demikianlah Allah jelaskan dalam Al-Qur’an sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:155)
Namun kita lihat, bagaimana Fathimah & Asma, 2 wanita mulia dari para ayah yang mulia ini bersabar atas keadaannya. Pada tahun kedua setelah hijrah, Ali bin Abi Thalib menikahi Fathimah dengan mas kawin baju besi senilai 4 dirham. Sejak hari pertama pernikannya, ia mengerjakan sendiri tugas rumah tangganya yang cukup berat pada waktu itu. Dia harus menggiling bahan makanan dan membuata adonan roti hingga rambutnya terkena percikan tepung. Kemudian ia memprosesnya dan memasaknya hingga matang. Sementara itu, suaminya yang zuhud dan mujahid tidak mampu mengupah pembantu.
Sedangkan Asma, dia menuturkan, “ Az Zubair menikahiku, sementara itu dia tidak mempunyai harta apa pun di dunia ini selain dari seekor kuda dan ontanya yang dipergunakan untuk mengambil air. Sayalah yang memberi makan kudanya, mengambilkan air dan menumbuk biji-bijian untuknya. Saya juga mengambil air, mengisi embernya dengan geriba dan membuat adonan roti. Saya harus memanggul beban di atas kepala dengan menempuh perjalanan sekitar 3 farsakh, hingga akhirnya Abu bakar mengirim seorang pembantu kepadaku untuk mengurusi kuda, sehingga seakan-akan dia telah membuatku sebagai orang yang merdeka. “ (Diriwayatkan Asy-syaikhani).
Kalaulah bukan karena materi, seringkali rumah tangga aktivis dakwah pun terkena virus ‘kesetaraan gender”. Meski belum menyerang keseluruh sel tubuh namun sudah menggerogoti organ vital. Maka dimulailah rumah tangga “Ring Tinju”. Berlomba-lombalah suami & istri untuk menunjukan eksistensinya, Sang istri tak mau kalah dengan karier suaminya. Atau bahkan berpikir pendapatnya akan didengar kalau memiliki karier yang gemilang.
Bukankah Uwais Al-Qarni sangat berbakti pada ibunya yang membuat do’anya dikabulkan Allah? Hingga Nabi kita yang mulia menyuruh Umar Radiyallahu anhu bila berjumpa Uwais agar meminta doa darinya agar Allah mengampuni dosa Umar? Bukankah Umar radiyalahu ‘anhu juga menawarkan dunia berupa surat rekomendasi kepada Uwais yang waktu itu akan ke Kufah. Bila saja ia mau menggunakannya maka kehidupannya akan berubah. Dunia mendatangi Uwais dan tunduk padanya akan tetapi Uwais menolaknya dengan berkata :
“Menjadi orang biasa dan tidak terkenal adalah lebih aku sukai.” (Lihat Hadits Riwayat Muslim no.1747 dan 1748)
Karena itu turun ayat yang berkaitan tentang hal tersebut:
: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ“
Dan hendaklah kamu tetap(tinggal) dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya (Al-Ahzab :33)
Di dalam hidup ini kita akan selalu dirisaukan dengan kelaparan, kefakiran dan ketakutan karena memang demikianlah Allah jelaskan dalam Al-Qur’an sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:155)
Namun kita lihat, bagaimana Fathimah & Asma, 2 wanita mulia dari para ayah yang mulia ini bersabar atas keadaannya. Pada tahun kedua setelah hijrah, Ali bin Abi Thalib menikahi Fathimah dengan mas kawin baju besi senilai 4 dirham. Sejak hari pertama pernikannya, ia mengerjakan sendiri tugas rumah tangganya yang cukup berat pada waktu itu. Dia harus menggiling bahan makanan dan membuata adonan roti hingga rambutnya terkena percikan tepung. Kemudian ia memprosesnya dan memasaknya hingga matang. Sementara itu, suaminya yang zuhud dan mujahid tidak mampu mengupah pembantu.
Sedangkan Asma, dia menuturkan, “ Az Zubair menikahiku, sementara itu dia tidak mempunyai harta apa pun di dunia ini selain dari seekor kuda dan ontanya yang dipergunakan untuk mengambil air. Sayalah yang memberi makan kudanya, mengambilkan air dan menumbuk biji-bijian untuknya. Saya juga mengambil air, mengisi embernya dengan geriba dan membuat adonan roti. Saya harus memanggul beban di atas kepala dengan menempuh perjalanan sekitar 3 farsakh, hingga akhirnya Abu bakar mengirim seorang pembantu kepadaku untuk mengurusi kuda, sehingga seakan-akan dia telah membuatku sebagai orang yang merdeka. “ (Diriwayatkan Asy-syaikhani).
Kalaulah bukan karena materi, seringkali rumah tangga aktivis dakwah pun terkena virus ‘kesetaraan gender”. Meski belum menyerang keseluruh sel tubuh namun sudah menggerogoti organ vital. Maka dimulailah rumah tangga “Ring Tinju”. Berlomba-lombalah suami & istri untuk menunjukan eksistensinya, Sang istri tak mau kalah dengan karier suaminya. Atau bahkan berpikir pendapatnya akan didengar kalau memiliki karier yang gemilang.
Bukankah Uwais Al-Qarni sangat berbakti pada ibunya yang membuat do’anya dikabulkan Allah? Hingga Nabi kita yang mulia menyuruh Umar Radiyallahu anhu bila berjumpa Uwais agar meminta doa darinya agar Allah mengampuni dosa Umar? Bukankah Umar radiyalahu ‘anhu juga menawarkan dunia berupa surat rekomendasi kepada Uwais yang waktu itu akan ke Kufah. Bila saja ia mau menggunakannya maka kehidupannya akan berubah. Dunia mendatangi Uwais dan tunduk padanya akan tetapi Uwais menolaknya dengan berkata :
“Menjadi orang biasa dan tidak terkenal adalah lebih aku sukai.” (Lihat Hadits Riwayat Muslim no.1747 dan 1748)
Rumah tangga Ideologis Rumah tangga Penebar dakwah
Sesungguhnya Keluarga Nabi saw adalah bentuk rumah tangga yang demikian agung. Tidak sedikitpun celah untuk mencela. Tidak semilipun lubang untuk menggali kekurangannya. Rumah Nabi adalah rumah yang memancarkan cahaya ilahi. Dari rumah Nabi saw, Islam menyebar dengan cepat. Berawal dari delapan orang pertama yang memeluk Islam, kemudian 40 orang, dan seterusnya.
Pancaran cahaya ilahi menerangi seluruh Makkah, hingga tidak ada sebuah rumahpun di Makkah, kecuali ada Islam disebut. Pancaran cahaya itu semakin sempurna setelah hijrah ke Madinah al-Munawwarah. Dari sana Islam menyebar secepat api membakar rumput kering. Islam memenangkan pertempuran demi pertempuran, penaklukan demi penaklukan. Dengan cepat, wilayah Islam meluas hingga memayungi dua pertiga belahan bumi.
Rumah Nabi memang memancarkan cahaya ilahi. Namun janganlah lupa, sebelum cahaya itu memancar menerangi semesta, terlebih dahulu ia memijar di dalam rumah Nabi. rahimimajinasi.wordpress.com/2010
Di rumah itulah, nabi & anggota keluarganya bertekad untuk menyebarkan dakwah ke seluruh alam. Tidak peduli laki-laki atau perempuan. Orang Tua atau anak-anak karena dakwah adalah kewajiban bagi semua.
Perhatikanlah firman Allah Swt. berikut:
]وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ[
Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar. (QS at-Taubah [9]: 71).
Dalam ayat ini Allah Swt. menyatakan bahwa berdakwah merupakan aktivitas yang menyatu dengan keimanan seseorang, baik laki-laki maupun wanita. Allah Swt. juga berfirman:
]وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ[
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104).
Tentu agar kita menggapai kesuksesan dalam dakwah diperlukan perbaikan kualitas diri. Berbagai tsaqofah dasar seperti Bahasa Arab, hapalan al Qur’an & hadits serta ilmu dasar lainnya harus kita kuasai. Begitu juga dengan tsaqofah islam. Meski halaqoh adalah ujung tombak pembinaan diri kita, namun sifatnya justru mendasar, perlu pengasahan agar bisa digunakan di medan dakwah yang sebenarnya. Rumahlah yang bisa menjadi naungan ketika kita mengasah diri, menggembleng diri menjadi kualitas yang makin baik dari hari ke hari.
Aktivitas pengasahan diri ini akan terasa ringan bila bersama-sama dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Program taqarub ilallah seperti qiyamul lail, shaum sunnah dan menghapal Al Qur’an akan terasa nikmat & semangat dilakukan bersama-sama. Apalagi bila masing-masing anggota keluarga memiliki kelebihan atas tsaqofah atau ilmu tertentu, maka bisa dilakukan kajian bersama atas hal tsb. Belajar Bahasa Arab mingguan, tausiyah bergiliran dan evaluasi dakwah bisa menjadi menu lezat keluarga.
Menyelesaikan masalah Keluarga
Bukan berarti keluarga aktivis dakwah tidak pernah punya masalah. Di antara persoalan yang muncul dalam rumah tangga adalah:
1.Ketimpangan pemahaman Islam antara suami-istri. Adanya jurang pemahaman sepasang suami-istri dapat menghadapi keguncangan dalam rumah tangga. Dakwah pun akan terganggu. Persoalan ini perlu diselesaikan dengan cara menyamakan persepsi. Caranya adalah berdialog; bukan dialog seperti penguasa dengan rakyat, tetapi dialog antara dua sahabat yang dilandasi cinta dan kasih sayang. Jika dialog terasa sulit, maka suami akan meminta dan mendorong istrinya mengikuti proses pembinaan. Hal yang sama dilakukan juga oleh istri kepada suaminya. Rasulullah saw. sering berdialog dengan istri-istrinya.
2.Beban hidup keluarga. Kezaliman penguasa seperti menaikkan harga BBM telah memukul masyarakat, tak terkecuali keluarga pengemban dakwah. Saat menghadapi persoalan ini keluarga Muslim akan menghadapinya dengan penuh kesabaran. Mereka yakin, Allah sajalah Maha Pemberi rezeki; Dialah yang meluaskan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki; Dia pula yang menyempitkan rezeki atas siapa saja yang Dia kehendaki. Keluarga Muslim memandang kaya atau miskin hanyalah cobaan dari Allah, Zat Yang Mahagagah. Hal ini justru mendorong mereka untuk semakin taat kepada Allah Swt. (Lihat: QS al-A‘raf [7]:168). Suami akan terus berusaha mencari nafkah. Istri pun tidak banyak menuntut.
Janganlah mengira Rasulullah hidup penuh kelonggaran. Sudah dimaklumi, Rasulullah saw. hidup dalam kefakiran. Nabi kekasih Allah tersebut dan keluarganya sering tidak kenyang makan selama tiga hari berturut-turut. Hal ini beliau alami hingga pulang ke rahmatullah (HR al-Bukhari dan Muslim). Namun, beliau dan istri-istrinya tetap teguh dalam dakwah Islam.
3.Masalah prioritas amal suami-istri. Kadangkala suami memprioritaskan agar istrinya mengasuh anak yang sakit, misalnya; sementara istrinya lebih mengutamakan kontak tokoh. Perselisihan pun terjadi. Sebenarnya, penentuan prioritas (al-awlawiyât) harus mengacu pada hukum syariah. Oleh sebab itu, suami dan istri penting memahami kedudukan masing-masing berdasarkan syariah. Suami wajib memperlakukan istri dengan baik (ma‘rûf), memberi nafkah, mendidik istri, menjaga kehormatan istri dan keluarga. Istri berkewajiban taat kepada suami, menjaga amanat sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt, menjaga kehormatan dan harta suami, meminta izin bepergian kepada suami. Sementara itu, kewajiban bersamanya adalah menjaga iman dan takwa; menjaga senantiasa taat kepada Allah Swt. menghindari maksiat, dan saling mengingatkan. Diupayakan, semua kewajiban dikompromikan antara suami dan istri. Jika pada suatu situasi dan kondisi tertentu terjadi bentrokan kepentingan antara peran sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt dan tugas dakwah, sedangkan pemaduan keduanya tidak dapat dilakukan, maka secara syar‘i prioritas yang harus dilakukan adalah kedudukan sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt.
Prinsip Dakwah Sinergis
Ada lagi persoalan lain yang kadangkala muncul. Namun, bagi setiap persoalan yang muncul, inti pemecahan masalahnya adalah:
1. Mengetahui hak dan kewajiban masing-masing serta hak dan kewajiban bersama, lalu berupaya mengkompromikannya. Jika tidak bisa, kembali pada awlawiyât berdasarkan hukum syariah.
2. Membangun komunikasi dan saling pengertian. Rasulullah saw. senantiasa berkomunikasi dengan Ibunda Khadijah ra. Beliau bersama istrinya berupaya bersama membincangkan persoalan dakwah. Bahkan, beliau menyempatkan berkomunikasi dan bersenda-gurau dengan istri-istrinya setiap sehabis isya. Setelah itu, barulah beliau menginap di tempat istri yang mendapat giliran. Nabi saw. mencontohkan bahwa komunikasi merupakan persoalan vital dalam rumah tangga. Tentu, saat komunikasi bukan melulu persoalan yang berat-berat, melainkan juga terkait dengan persoalan ringan seperti makanan yang enak, foto keluarga, dll.
3. Saling mendukung sebagai tim dakwah terkecil. Dukungan orang-orang terdekat—suami dan istri, anak-anak, orangtua, dan orang-orang yang berada di sekitarnya—langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap kesuksesan tim dakwah keluarga. Beban rumah tangga, nafkah, dan dakwah jelas sangat berat. Akan lebih berat lagi jika suami/istri atau keluarga tidak memahami kewajiban ini. Sebaliknya, semua tugas akan terasa ringan dan menyenangkan, rasa lelah segera hilang jika suami/istri dan keluarga memahami aktivitasnya; mendukung, apalagi turut membantu. Suami dan istri sama-sama memahami bahwa aktivitas tersebut bukan didasari oleh keinginan untuk aktualisasi diri, karir, ataupun untuk persaingan antara suami-istri. Keduanya akan saling menolong dalam beribadah kepada Allah dan berlomba dalam kebaikan. Dengan begitu, akan tercipta sebuah keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah. Bagi Muslimah shalihah, seberat apa pun beban yang harus ditunaikan tidak berarti apa-apa jika dukungan dan ridha suami senantiasa menyertainya. Begitu juga, seorang suami salih akan tetap tersenyum bahagia jika istrinya shalihah dan menopang dakwahnya. Di sinilah peran penting suami-istri saling mendukung dalam menunaikan kewajiban dakwah dari Allah, Zat Yang Mahakuasa. Perlu suami-suami menjadi seperti Nabi saw. dan para sahabat; perlu istri-istri menjadi laksana ummul mukminin dan shahabiyât yang secara harmonis berjuang bersama memperjuangkan Islam.
4. Pentingnya ukhuwah sesama pengemban dakwah. Dakwah tidak mungkin dilakukan secara individual. Dakwah berjamaah adalah suatu keniscayaan. Ukhuwah di antara pengemban dakwah juga terus dipelihara selama mereka berinteraksi. Dengan begitu, satu sama lain akan saling mengenal, saling memahami, dan saling membantu. Masing-masing memahami karakter, kemampuan, kondisi, kendala, serta apa yang dibutuhkan. Tidak akan ada beban yang diberikan di luar kemampuan seseorang atau membuat dia lalai terhadap kewajibannya yang lain. Kalaupun ada kendala pada individu pengemban dakwah bukan langsung disalahkan, tetapi akan diteliti akar permasalahannya dan dicari solusi pemecahannya. Sebuah jamaah dakwah ibarat roda yang berputar. Masing-masing bagian menempati posisi dan fungsi masing-masing; kadang berada di bawah kemudian bergulir ke atas. Demikian halnya dengan seorang pengemban dakwah. Ketika dia sedang diliputi kendala, keadaannya ibarat bagian bawah roda. Saudaranya sigap dan cepat bereaksi untuk membantunya. Jika ini terjadi maka suatu keluarga pengemban dakwah yang tengah mendapatkan kesulitan diringankan oleh saudaranya dari keluarga lain.
Profil Keluarga
Keluarga Nabi saw. adalah keluarga sakinah penegak syariah. Beliau sebagai seorang suami sering bergurau, berbuat makruf, dan lembut terhadap istrinya. Beliaupun sekaligus rasul pejuang Islam. Salah seorang istrinya, Ibunda Khadijah, adalah penopang utama dakwah Nabi saw., beriman pertama kali, membiayai hampir seluruh dakwahnya. Sekalipun demikian, Ibunda Khadijah tetap rendah hati, berakhlak mulia, dan menjaga kesuciannya. Ia juga menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya serta tetap menghormati dan menaati Rasulullah saw. sebagai suaminya. Dari ibu mulia inilah lahir perempuan mulia Fatimah az-Zahra. Hidup beliau dilalui dengan penuh kesetiaan dan kebajikan. Sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya. Ia mendampingi Rasulullah saw. dalam suka dan duka perjuangan (Lihat: Akhmad Khalil Jam’ah, Wanita Yang Dijamin Syurga, Darul Falah, Jakarta, 2002, hlm. 16).
Ibunda Khadijahlah yang senantiasa menenangkan ketakutan Nabi saw. Tampaklah, keluarga beliau adalah keluarga sakinah yang pejuang, atau keluarga pejuang yang sakinah.
Profil seperti itu terjadi juga pada keluarga Yasir bin Amir bin Malik. Dia bersama istrinya Sumayyah binti Khubath ra., dan anaknya Amar bin Yasir, termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam. Pasangan suami-istri tersebut berhasil mendidik anaknya menjadi salih. Sang suami amat sayang kepada istri dan anaknya. Semasa hidupnya pun Sumayyah dikenal sebagai seorang istri yang baik, berbakti, dan mengabdi kepada suaminya. Ia bersama suaminya dalam suka dan duka. Mereka bukan hanya sebagai keluarga sakinah, melainkan juga mempertaruhkan nyawanya demi melawan musuh-musuh Islam. Jelas, mereka adalah keluarga sakinah penegak Islam.
Contoh lain adalah keluarga Abu Thalhah. Beliau adalah seorang pejuang dan sahabat dekat Nabi saw. Istrinya bernama Ummu Sulaym binti Milhan ra. Dia adalah seorang perempuan Anshar. Ia termasuh shahabiyah yang utama. Ilmu, pemahaman, keberanian, kemurahan hati, kebersihan, dan keikhlasan bagi Allah dan Rasul terkumpul dalam dirinya. Sebagai ayah dan ibu mereka berhasil. Buktinya, Anas bin Malik yang banyak meriwayatkan hadis itu adalah anak mereka. Hubungan suami-istri pun mesra. Ummu Sulaym senantiasa menyediakan makanan dan minuman, berdandan cantik, bercakap dan bersenda gurau. Sungguh, keluarga mereka bukan hanya pembela Nabi saw., melainkan juga sakinah.
Banyak lagi contoh-contoh profil keluarga sahabat. Intinya, mereka memadukan peran ayah/ibu dan anak, peran suami-istri, dan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, dengan perjuangan Islam. Jika kita hendak menjadi keluarga seperti mereka maka kita mesti menjadi ‘keluarga sakinah penegak syariah dan Khilafah’. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. ( http://sample.hizbut-tahrir.or.id/2008 /08/12/keluarga-sakinahh-penegak-syariah-dan-khilafah/)
penulis: Ekha Subara
Opini
Ibunda Khadijahlah yang senantiasa menenangkan ketakutan Nabi saw. Tampaklah, keluarga beliau adalah keluarga sakinah yang pejuang, atau keluarga pejuang yang sakinah.
Profil seperti itu terjadi juga pada keluarga Yasir bin Amir bin Malik. Dia bersama istrinya Sumayyah binti Khubath ra., dan anaknya Amar bin Yasir, termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam. Pasangan suami-istri tersebut berhasil mendidik anaknya menjadi salih. Sang suami amat sayang kepada istri dan anaknya. Semasa hidupnya pun Sumayyah dikenal sebagai seorang istri yang baik, berbakti, dan mengabdi kepada suaminya. Ia bersama suaminya dalam suka dan duka. Mereka bukan hanya sebagai keluarga sakinah, melainkan juga mempertaruhkan nyawanya demi melawan musuh-musuh Islam. Jelas, mereka adalah keluarga sakinah penegak Islam.
Contoh lain adalah keluarga Abu Thalhah. Beliau adalah seorang pejuang dan sahabat dekat Nabi saw. Istrinya bernama Ummu Sulaym binti Milhan ra. Dia adalah seorang perempuan Anshar. Ia termasuh shahabiyah yang utama. Ilmu, pemahaman, keberanian, kemurahan hati, kebersihan, dan keikhlasan bagi Allah dan Rasul terkumpul dalam dirinya. Sebagai ayah dan ibu mereka berhasil. Buktinya, Anas bin Malik yang banyak meriwayatkan hadis itu adalah anak mereka. Hubungan suami-istri pun mesra. Ummu Sulaym senantiasa menyediakan makanan dan minuman, berdandan cantik, bercakap dan bersenda gurau. Sungguh, keluarga mereka bukan hanya pembela Nabi saw., melainkan juga sakinah.
Banyak lagi contoh-contoh profil keluarga sahabat. Intinya, mereka memadukan peran ayah/ibu dan anak, peran suami-istri, dan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, dengan perjuangan Islam. Jika kita hendak menjadi keluarga seperti mereka maka kita mesti menjadi ‘keluarga sakinah penegak syariah dan Khilafah’. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. ( http://sample.hizbut-tahrir.or.id/2008 /08/12/keluarga-sakinahh-penegak-syariah-dan-khilafah/)
penulis: Ekha Subara