Sepatu Boot Plastik Kaka

Inspirasi Islami Perempuan, Keluarga dan Anak

Selasa, 07 Agustus 2012

Sepatu Boot Plastik Kaka

Sepatu Boot Plastik Kaka

Tawa ibu-ibu di halaman sekolah kaka, anakku,  terderai.  Sepatu boot anakku lepas, melenting jauh ke arah mainan jungkat-jungkit. Entah karena tingkah anakku yang lucu ketika melepas sepatu atau justru karena sepatunya itu ibu-ibu tertawa. Riuh! ibu-ibu berbisik di belakangku. Ada beberapa yang terdengar, ada yang tidak. Tapi beberapa diantaranya tentang sepatu anakku.

Ya.., sepatu berwarna biru. Berbahan dasar plastik. Bentuknya sepatu boot. Sepatu itu mirip seperti sepatu yang sering digunakan oleh Bapak pengangkut sampah yang lewat di depan rumah kami. Pertemuan dengan bapak pengangkut sampah itu juga yang membuat anakku merengek meminta dibelikan sepatu boot plastik.  Apalagi anak tetangga sebelah sudah membelinya lebih dulu.Entah dengan alasan apa.

“Bunda, kaka mau sepatu bot” ujarnya sambil merengek.
‘Nanti kalau sudah besar sayang, supaya bagus nanti bunda pesankan ke cibaduyut, sepatu boot kulit tapi  yang pendek saja” jawabku.
“Tapi kaka gak mau sepatu bot yang pendek, kaka ingin seperti mang sampah” timpalnya dengan sungguh-sungguh.
Aku tertegun. Bagaimana mungkin dia ingin sepatu seperti mang sampah?

Dan hari-hari berikutnya, dia selalu meminta permainan menarik sampah. Ayahnya diminta mengubah kardus bekas menjadi gerobak sampah. Dengan sedikit sentuhan lakban, ayah kaka menempelkan stick drum kaka ke kardus. Stick drum itu menjadi pegangan untuk menarik kardus yang dianggap sebagai gerobak sampah.

Seiring dengan permainan itu pula, rengekannya untuk membeli sepatu bot mengalir. Ungku kaka yang tidak tahan mendengarnya suatu waktu mengajaknya ke pasar. Beliau pun membelikannya.

Sejak itu, sepatu favorit kaka adalah sepatu boot plastik berwarna biru. Padahal ada sepatu kaka yang lain; sepatu kets warna coklat &sepatu boot kulit pendek seperti milik pak polisi. Tapi kaka sering memilih Sepatu boot plastik biru. Jujur saya malu bila kaka memakainya. Rasanya tidak pantas (matching) dengan pakaiannya yang mana pun.

Berbeda dengan kaka, dia bangga dengan sepatu boot plastik itu. Figur pertama yg diidentifikasinya tentu bapak pengangkut sampah. Hampir tiap hari pada rentang waktu ini kaka menunggu  bapak pengangkut sampah lewat. Ketika sampai di depan rumah kami, ia akan tersenyum, menyapa bapak pengangkut sampah dan membantu bapak tersebut mengangkat sampah dari  depan rumah kami. Selanjutnya bapak pengangkut sampah akan mengangguk, tanda ia akan jalan lagi menjalankan profesinya. Kemudian kaka akan mengantar bapak pengangkut sampah dengan ujung matanya sampai tidak terlihat lagi.

Saya tidak pernah berani untuk bertanya, kenapa kaka senang memakai sepatu boot plastik itu. Cukup memahami bahwa dari sekian banyak bapak-bapak, yang lewat dengan berbagai profesi ,di depan rumah kami, menurut kaka anakku : tukang sampah lah yang nampak kesungguhannya dalam menjalani profesinya.

Bukan Bapak dokter gigi yang lewat dengan mobil mulusnya tanpa menyapa atau senyum kepada anak kecil yg dipanggil kaka ini. Bukan bapak-bapak berbaju coklat yang pkl 13.00 atau 14.00 sudah santai di rumah atau juga bukan honorer yang belum diangkat tapi punya rumah mentereng yang entah dari mana uang untuk membangunnya.

Kaka anakku tidak mengenal apa itu strata sosial, yang diketahuinya adalah apa yang nampak di matanya bahwa Bapak pengangkut sampah bersungguh-sungguh bekerja membuat rumah dan lingkungannya menjadi sehat. Setiap helaan nafas  berat dari bapak pengangkut  sampah dianggap kaka sebagai kesungguhan. Setiap peluh yang perlahan mengalir di tubuh bapak pengangkut sampah adalah kesabaran.  Dan setiap tarikan awal gerobak dari diam adalah semangat kehidupan yang meluap untuk kehidupan yang lebih baik bagi keluarga.

Karena seseorang tidak dilihat dari profesinya bukan? Melainkan dari kesungguhannya melakukan pekerjaannya sesuai amanah & aturan yang diridhai Allah.

Manusia dewasalah yang sering  mengkotak-kotakan pekerjaan bernilai & pekerjaan yang hina. Dan anak-anaklah yang  dengan kejernihan hatinya mampu menghormati pekerjaan apa pun asal sesuai dengan fitrah mereka sebagai anak2 yaitu islam.

Sejak mendapat pembelajaran itu, aku tidak merasa malu bila kaka ingin menggunakan sepatu boot plastik itu. Pun ketika diidentikkan dengan pengangkut sampah. Memang bapak pengangkut sampah itu banyak manfaatnya untuk kami. Pernah seminggu bapak pengangkut sampah tidak datang. Halaman kami penuh lalat dan bau tidak sedap, begitu pun rumah disekitar kami.

Ya, sebaik2 manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Begitu kata rasul. Maka tidak kuhiraukan tawa ibu2 dengan berbagai nada itu. Biasa lah, ibu-ibu,  ketika ada di halaman depan sekolah sering begitu.  Ya... mungkin memang bukan karena sepatunya. Bukan karena sepatu boot plastik yang modelnya kampungan. Aku jadi memutar balik pikiranku. Tawa itu mungkin memang karena anakku lucu & menggemaskan ketika membuka sepatu. Hmmm...

penulis: Ekha Subara