Anak dalam Pandangan Islam

Inspirasi Islami Perempuan, Keluarga dan Anak

Senin, 19 Agustus 2013

Anak dalam Pandangan Islam


Anak dalam Pandangan Islam

Wajah Indonesia yang kurang ramah terhadap anak


Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat diharapkan menjadi lingkungan pertama dan utama yang nyaman bagi anak. Namun sungguh ironis, fakta membuktikan wajah Indonesia ternyata kurang ramah terhadap anak.  Terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak  dari tahun ke tahun . Pada 2011 Komnas PA mencatat laporan sebanyak 2.509 kekerasan terhadap anak dengan 58% merupakan kejahatan seksual. Dan pada 2012 tercatat 2637 dimana 62% kejahatan seksual. Kemudian pada semester pertama 2013 Komnas PA mencatat sebanyak 1.824 kasus dengan 724 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
 
Namun yang paling mengkhawatirkan, lonjakan terjadi justru pada kasus kekerasan seksual. Karena itu,  Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan tahun 2013 sebagai tahun siaga kejahatan seksual (http://www.metrotvnews.com).

Penyebab kekerasan terhadap anak


Menko Kesra Agung Laksono menuding kemiskinan, pola asuh, lingkungan baik keluarga, masyarakat, sekolah, budaya, lemahnya penegakan hukum serta kurangnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap anak (Menkokesra.com, 03/03/2013).
Sekjen Komnas PA Samsudin Ridwan mengatakan akibat rapuhnya peran keluarga dan masyarakat dinilai mengakibatkan melonjaknya kasus kekerasan seksual pada anak dan serangkaian peristiwa buruk lainnya. Saat ini, tidak ada kemajuan yang dilakukan negara dalam menangani kasus perlindungan anak baik kekerasan maupun perlakuan buruk (http://nasional.sindonews.com)

Ibarat lingkaran setan, berbagai faktor tadi berkejaran membentuk bola salju bagi keburukan anak.  Rumah yang sejatinya bagai surga dunia tidak bisa ditemukan banyak anak saat ini. Rumah nampak seperti hotel murahan tempat orang istirahat dan berganti pakaian. Begitu kurang interaksi dalam arti fungsi keluarga terjadi. Hampir seluruh fungsi keluarga dilimpahkan pada pihak profesional.

Pemenuhan kebutuhan fisik anak untuk tumbuh dan berkembang banyak dialihkan kepada pembantu rumah tangga atau orang tua yang sudah sepuh. Pendidikan anak usia dini banyak dilimpahkan pada lembaga pendidikan formal. Kasih sayang dan perhatian lebih banyak diartikan dengan lembaran uang.

Kehidupan kapitalistik menyeret para orang tua untuk mengejar materi. Filosofi ini sering terbangun sejak pernikahan dimulai. Alih-alih pernikahan adalah ibadah, ujung-ujungnya keluarga yang dibentuk dianggap investasi ekonomi jangka panjang yang diharapkan menguntungkan. Jauh dari nilai-nilai agama. Maka tidak aneh bentuk hubungan dan hasil dari penikahan tersebut lebih bersifat materi belaka tanpa ruh. Tumbuhlah anak yang makin besar berat badan dan tingginya, namun hampir tanpa pemahaman maknawi yang sejati.

Islam menangani kekerasan terhadap anak


Ada 3 pilar yang bisa menangani kekerasan terhadap anak. Hal pertama berkaitan dengan diri pribadi. Setiap orang diperintah oleh Allah untuk memutuskan perkara sesuai syariat-Nya sebagai konsekuensi keimanan.
“ dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” TQS Al Maidah : 49

Dengan berpegang pada hukum syara, kehidupan manusia akan selamat di dunia dan akhirat. Berbagai syariat islam berkaitan dengan anak menjadikan kehidupan keluarga yang harmonis dan nyaman. Tiap anggota keluarga melaksanakan kewajibannya masing-masing semata-mata karena ingin mengharap ridho Allah. Suami menjadi pemimpin keluarga, pendidik anak dan istri serta pencari nafkah. Dan istri menjadi pengatur rumah tangga serta ibu dari anak-anak.

Sudut pandang yang benar terhadap istri dan anak sesuai tuntunan islam selalu membawa anggota keluarga pada pijakan yang benar. Tidak akan didapati kasus pemerkosaan terhadap anak kandung misalnya karena pandangan ayah terhadap anak justru pihak yang melindungi, mendidik dan mengayomi bukan sebaliknya. Pemuasan seksual hanya ada pada istri, dan istri pun dengan sukarela melaksanakan sebagai bagian kewajiban.

Kedua adalah kontrol masyarakat. Amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya tugas kyai atau ustadz. Seluruh anggota masyarakat diwajibkan berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan yang baik untuk tumbuh kembang. Setiap ada penyimpangan di lingkungan, anggota masyarakat harus berani menegurnya, demi kebaikan semua.

“Perumpamaan orang yang teguh dalam menjalankan hukum-hukum Allah dan orang yang terjerumus di dalamnya, adalah seperti sekolompok orang yang berada di dalam sebuah kapal, ada yang mendapatkan tempat di atas melewati orang-orang yang di atas, dan ada yang memperoleh tempat di bawah. Sedang yang di bawah jika mereka membutuhkan air minum, mereka harus naik ke atas, maka mereka berkata: ‘Lebih baik kita melobangi tempat di bagian kita ini, supaya tidak mengganggu kawan-kawan kita yang di atas’. Rasulullah bersabda, ‘Maka jika mereka yang di atas membiarkan mereka, pasti binasalah semua orang yang ada di dalam perahu tersebut, namun apabila mereka mencegahnya mereka semua akan selamat’.” (HR. Al-Bukhari no. 2493)

Ketiga adalah negara. Melaui sistem perundangan dan penerapan hukumnya, negara menjadi pihak yang penting dalam perwujudan lingkungan yang ramah bagi anak. Pendidikan untuk masyarakat, fasilitas umum, pengontrolan dari pihak keamanan serta sanksi yang tegas adalah kewenangan yang ada pada negara.

Bila mencontoh rasul dan para shahabat dalam bingkai sistem islam. Semua kewenangan tadi dilaksanakan atas dasar keimanan kepada Allah, dan keyakinan syariat-Nya yang membawa berkah pada negri. Tidak sungkan-sungkan sanksi yang tegas diberikan, agar efek jera tercapai.

Negara menjatuhkan hukuman tegas terhadap para penganiaya anak.  Pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum menikah, dan dirajam bila sudah menikah.  Penyodomi dihukum mati.  Pembunuh anak akan diqishas, yakni balas bunuh, atau membayar diyat sebanyak 100 ekor unta yang bila dikonversi saat ini senilai kurang lebih 2 milyar rupiah.  Setiap anggota tubuh anak memiliki nilai diyat sama dengan orang dewasa. 

Dalam sebuah hadist (HR An Nasa’iy), Rasulullah memerinci diyat bagi setiap anggota badan yang rusak dan juga penganiayaan.  Diantaranya satu mata 50 ekor unta, begitu juga bibir dan telinga.  Bahkan satu gigi pun dikenakan diyat 5 ekor unta atau sekitar 100 juta.  Termasuk juga melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai 1/3 dari 100 ekor unta, selain hukuman zina (Abdurrahman Al Maliki, 1990, hal 214-238). Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan penganiayaan terhadap anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan.

Dengan kesatuan 3 pilar penyelesaian masalah ini, kasus-kasus kekerasan terhadap anak akan tercerabut dari akarnya. Orang tua dibuat mudah dalam memelihara dan membesarkan anak. Generasi khoiru ummah pun terwujud dengan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Hal ini nampak pada kejayaan kaum muslimin ketika melahirkan nama- nama besar Imam syafii, Muhammad Al Fatih, Sholahudin Al ayubi dll sebagai generasi emas peradaban khilafah islamiyah. Dan sesuai kabar gembira dari Rasulullah, Khilafah Islamiyah diatas manhaj kenabian akan segera tegak mendekati akhir zaman. Wallahu a’alam bishowwab.

Catatan : dimuat di Kabar Priangan Online 25 Juli 2013
http://www.kabar-priangan.com/news/detail/10052

penulis: Ekha Subara