Islam Membangun Keluarga Bahagia dan Sejahtera

Inspirasi Islami Perempuan, Keluarga dan Anak

Minggu, 18 Agustus 2013

Islam Membangun Keluarga Bahagia dan Sejahtera

Islam Membangun Keluarga Bahagia dan Sejahtera

Momentum  hari keluarga nasional membuat kita berfikir ulang tentang keluarga. Sejauh mana kebahagiaan & kesejahteraan yang di awal pernikahan di impikan telah terwujud. Atau justru keluarga yang terjalin adalah keluarga rapuh diambang kehancuran. Seperti sekira 2500 pasangan di kabupaten Sumedang yang bercerai di tahun 2011. http://m.inilah.com/read/detail/1823904/tingkat-perceraian-di-sumedang-meningkat. Bahkan angka perceraian tersebut terus naik dari tahun-tahun sebelumnya. Dari data tersebut yang  cukup mengherankan,  belakangan ini angka perceraian didominasi gugat cerai pihak istri. Selain perselingkuhan, faktor ekonomi menjadi penyebab pertama gugatan cerai tersebut.

Mungkin saat ini, kebahagiaan keluarga lebih sering diukur dengan materi. Keberhasilan sebuah keluarga distandarkan pada angka nominal penghasilan, barang-barang bermerk, jumlah kendaran dan hunian. Di lain pihak, standar-standar tersebut ternyata standar semu. Bukannya mendatangkan kebahagiaan sejati justru membawa kegelisahan senantiasa di dalam hati. Seperti makna hadits berikut

مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتْ اْلآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
Siapa saja yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, Allah mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinannya selalu membayang di pelupuk kedua matanya; tidak akan datang kepadanya bagian dari dunia kecuali yang telah ditetapkan untuknya. Siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, Allah menghimpunkan untuknya urusannya dan menjadikan kekayaannya ada di dalam hatinya, dan dunia mendatanginya, sementara dunia itu remeh dan rendah. (HR Ibn Majah, Ahmad, al-Baihaqi, Ibn Hibban, ad-Darimi dll).
Padahal kalu kita lihat tuntunan berkeluarga di dalam Alqur’an, kebahagiaan sejati bagi setiap keluarga adalah adanya ketentraman di dalam hati anggota keluarga.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan –Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Ruum[30]:21)

Syeikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya an- Nizhom al-ijtima’iy fil Islam, menjelaskan konteks ayat  ini yang artinya, pernikahan itu menjadikan seorang suami merasa tentram dan damai di sisi isterinya, begitu pula sebaliknya.  Mereka akan saling cenderung satu sama lain dan bukannya saling menjauhi.  Jadi, ketentuan dasar dalam sebuah perkawinan adalah kedamaian, dan dasar dari kehidupan suami isteri adalah ketentraman. Ketentraman dan kedamaian ini merupakan awal dari suasana bahagia.  Sulit diraih kebahagian keluarga jika keluarga tersebut diliputi perselisihan diantara anggotanya. 

Bila menohok perjalanan risalah islam, Kita dihadapkan pada gambarang kisah sejati kebahagiaan keluarga rasulullah dan para sahabat beserta generasi terbaik setelahnya.
‘Aisyah bercerita, “Aku melihat Rasulullah berdiri di pintu rumahku pada saat orang-orang Habsyi bermain perang-perangan di dalam masjid. Kemudian Rasulullah menutupiku dengan kain sorbannya agar aku bisa leluasa melihat permainan mereka. Rasulullah rela berdiri untukku, sampai aku puas melihat permainan mereka dan bergegas pergi. Bayangkanlah bahwa waktu itu aku seorang gadis yang masih suka bermain.”
Atau pada kesempatan lain, Dari Aisyah : “Suatu hari Rasulullah menantangku lomba lari. Dan aku memenangkannya selama beberapa kali. Kemudian, ketika aku mulai gemuk, Rasulullah kembali mengajakku lomba lari.Dan sekali ini ia berhasil mengalahkanku seraya berkata, ‘Kita telah imbang, ‘Aisyah’.”

Ketika pun ada perselisihan rasulullah sebagai manusia yang agung tidak segan –segan meminta mediator dan menyelesaikan permasalahannya dengan bijak :
Abu Bakar mendengar suara ‘Aisyah yang nadanya membentak Rasul. Maka Abu Bakar berkata, “Wahai putri UmmuRuman! Lancang kamu berani membentak Rasulullah?!”Kemudian Abu Bakar bergegas menghampiri ‘Aisyah untuk memukul serta memberinya hukuman.Namun Rasulullah segera menghadang dan berada di tengah-tengah ‘Aisyah dan Abu Bakar.Tak lama kemudian Abu Bakar keluar.Kemudian Rasulullah meminta dan merayu ‘Aisyah agar tidak marah lagi seraya berkata, “Bukankah Engkau lihat sendiri aku telah melindungimu darinya?”Abu Bakar masuk lagi dan kali ini ia telah melihat keduanya yakni Rasulullah dan ‘Aisyah sudah sama-sama tertawa.Kemudian Abu Bakar pun berkata, “Ajaklah aku turut serta dalam kegembiraan kalian, sebagaimana kalian melibatkanku di saat bertengkar.”
Dalam syariat Islam sendiri, rasulullah sudah sangat jelas menerangkan kewajiban berbuat makruf di tengah-tengah keluarga, seperti sabdanya :
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya kepada istrinya” (HR Ibnu Majah), dan dalam hadist yang lain Rasulullah saw bersabda : “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik  perlakuannya kepada keluarganya.  Dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluargaku.” (HR al-Hakim dan Ibn Hibban).

Memang benar, kehidupan keluarga tidak lepas dari permasalahan pemenuhan kebutuhan keluarga(ekonomi) itu sendiri. Keluarga bahagia termasuk di dalamnya keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang mampu memenuhi semua kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan pelengkap.  Para ahli fiqih mengatakan, “Orang yang berkecukupan adalah orang yang mampu mengusahakan makanan pokok untuk dirinya berikut keluarganya sehingga tidak lagi membutuhkan makanan yang sejenis serta mampu mampu mengusahakan pakaian dan tempat tinggal mereka, termasuk kendaraan dan perhiasan yang layak.”  

Hal ini seperti yang dijelaskan dalam al Qur’an
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (Q.S Al-Qasas 28:77)

Namun harus dibedakan antara menjadikan harta (kehidupan dunia) sebagai tujuan dengan menjadikan harta sebagai perantara kebahagiaan hakiki yaitu akhirat. Jangan sampai harta ini menjadi tujuan dan mengabaikan tujuan sebenarnya yaitu akhirat.

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu, serta membangga-banggakan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan, di akhirat nanti ada azab yang keras, dan ampunan, serta keridaan-Nya. Dan, kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Al-Hadid: 20

Pada prakteknya, kesejahteraan ini tidak bisa diraih hanya lewat peran dan tanggung jawab individu atau keluarga, di dalamnya ada peranan Negara yang harus dilaksanakan.   Islam menjamin tercapainya kesejahteraan hidup melalui mekanisme penerapan sistem politik ekonomi Islam dalam bingkai Sistem Khilafah islamiyah. Hal ini telah dipraktekan  oleh rasulullah, khulafaur rasyidin, dan para Khalifah setelahnya sampai keruntuhan daulah islamiyah pada tahun 1924 di Turki. Dalam politik ekonomi Islam, upaya meraih kesejahteraan bukan hanya dibebankan kepada individu dan keluarga, namun juga merupakan tanggung jawab Negara.

Dalam pandangan Islam, yang pertama bertanggung jawab memenuhi nafkah keluarga adalah suami/ayah, sebagaimana firman Allah SWT:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ [البقرة :233
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian pada para ibu dengan cara yang makruf… dan atas ahli warits yang semisal ”    (TQS al-Baqarah[2]:233).

Jika seseorang tidak memiliki suami/ayah atau ada suami/ayah tapi mereka tergolong yang miskin sehingga tidak mampu menafkahi orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, maka kewajiban nafkah ini beralih kepada ahli waritsnya.  Dalam al-Baqarah[2]:233 Allah SWT menyamakan kewajiban nafkah antara ayah dengan ahli warits.

Mekanisme berikutnya adalah peran Khilafah.  Institusi khilafah  penanggung jawab urusan umat wajib memenuhi kebutuhan warganya.  Islam menetapkan bahwa Khilafah wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya, baik kebutuhan dasar sebagai individu (sandang, pangan, dan perumahan) maupun kebutuhan kolektif berupa keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Agar Khilafah bisa melaksanakan hal-hal yang diwajibkan oleh syara', maka syara' telah memberikan kekuasaan kepada khilafah untuk memungut harta kekayaan tertentu sebagai pungutan tetap, semisal jizyah dan kharaj dan harta zakat.

Syara telah memberikan wewenang kepada Khilafah untuk mengelola harta Kepemilikan umum seperti minyak, tambang besi, tembaga dan sebagainya.  Semua harta yang termasuk kepemilikan umum harus dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf perekonomian umat. Sebab, kekayaan tersebut adalah milik umat, sementara negara hanya mengelolanya. Jika Negara mengelola semua harta milik umum dengan benar semata demi kemashlahatan rakyat, kemudian individu juga sungguh-sungguh berusaha untuk mencari rizki demi menafkahi diri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, maka kesejahteraan hidup individu rakyat akan terjamin.  Jaminan rizki diberitakan Allah melalui lisan Rasul-Nya:
“Sesungguhnya pintu-pintu rizki itu menghadap kearah Arsy, lalu Allah SWT menurunkan rizki-rizki itu kepada manusia sesuai dengan perhitungan nafkah mereka.  Barangsiapa yang banyak nafkahnya, diperbanyak pula rizkinya, dan barangsiapa yang sedikit nafkahnya maka disedikitkan pula rizkinya.” (HR ad-Daruquthni melalui Anas ra).


Patut kita kritisi berbagai program yang sedang dikembangkan saat ini dalam kerangka pemberdayaan ekonomi perempuan semisal kelompok Peningkatan Peran Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) di berbagai daerah.  Juga Program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Tentu pembahasannya bukan seputar apakah perempuan boleh bekerja ataukah tidak. Hal ini telah dibahas tuntas di dalam kajian fikih bahwa bekerja bagi perempuan hukumnya mubah (boleh). Asal tidak mengabaikan fungsi pokok perempuan sebagai ibu & pengatur rumah tangga serta tetap terikat hukum syara yang berkaitan dengan pekerjaannya tersebut. Namun pembahasannya lebih kepada asumsi dasar yang dibangun  bahwa dengan pemberdayaan ekonomi yang ditopang oleh perempuan dalam keluarga akan menjadikan keluarga makin tangguh dan mandiri dalam menghadapi badai krisis ekonomi yang kini tengah melanda negeri. 

Asumsi tersebut juga dibangun berdasarkan pemikiran KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender), bahwa kurangnya partisipasi perempuan dalam ekonomi keluarga menjadikan perempuan berada pada subordinat laki-laki.  Dan hal ini dapat mengakibatkan beragam persoalan seperti tindak KDRT dan penghilangan hak-hak perempuan lainnya.  Sehingga asumsinya, dengan peran aktif perempuan dalam penyelamatan ekonomi keluarga diharapkan juga akan menyelesaikan persoalan perempuan, tak hanya keluarga.

Asumsi pertama tentang ketangguhan keluarga yang terbagun karena ada peran perempuan di bidang ekonomi harus dikritisi apakah perempuan tersebut menjadi tulang punggung keluarga ataukah tidak. Sebagai tulang punggung keluarga tentu akan menyita waktu, pikiran dan tenaga perempuan tersebut. Disini perlu dilihat apakah fungsi sebagai ibu dan pengatur rumah tangganya terganggu ataukah tidak? Bagaimanapun, faktanya adanya gangguan terhadap fungsi perempuan di dalam keluarga akan menurunkan kualitas keluarga itu sendiri sampai ke titik nadir. Hal ini, justru akan memicu konflik yang lebih besar dari sekedar permasalahan ekonomi tapi juga ke masalah ketangguhan keluarga itu sendiri.

Asumsi kedua bahwa dengan peran ekonomi perempuan membuat perempuan lebih dihargai karena menghasilkan materi justru menjadi tamparan yang sangat kuat bagi perempuan itu sendiri karena hanya dihargai ketika menghasilkan uang. Tidak lebih seperti komoditas belaka.

Islam menghargai laki-laki dan perempuan bukan karena dia menghasilkan materi tapi karena ketakwaannya

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Dalam konteks keluarga, kemuliaan laki-laki ada pada ketaatannya kepada Allah dalam berbuat makruf di tengah-tengah keluarga, dia tidak melihat apakah istrinya bisa memberikan materi atau tidak tetap diperlakukan dengan baik karena hal tersebut diwajibkan Allah kepadanya. Selain itu, pelaksanaan sebagai ibu & pengatur rumah tangga lah yang menjadi penghargaan suami kepada istrinya karena disitulah peran strategis perempuan sebagai tiang negara. Kemudian, masih dalam konteks keluarga.  Laki-laki akan mulia dengan ketaatannya kepada Allah sebagai  pemimpin yang berwibawa,  mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dengan bijak dan juga sebagai pemberi nafkah yang cukup kepada keluaraga.

Kemuliaan perempuan dalm konteks keluarga adalah karena ketaatannya dalam menjalankan tugas pokok menjadi ibu, pengatur rumah tangga serta istri dhalihah yang menuruti arahan pemimpin rumah tangga (suami) dan menjaga hartanya . Itulah tugas pokok yang siwajibkan Allah kepada masing-masing pasangan. Tentu pelaksanaannya tidak kaku. Ketika salah seorang berkesulitan tentu pasangannya siap membantu tapi tidak boleh lalai dan keluar dari tugas pokok yang telah diwajibkan Allah.

Penerapan sisten kapitalisme saat ini terasa atau tidak telah menggiring banyak keluarga untuk memiliki cara pandang yang berbeda dengan islam. Balutan materialisme menggeser landasan pernikahan yang semula ibadah menjadi kontrak social biasa demi kepentingan materi. Lambat laun, bila paradigma ini berlanjut akan menggirin keluarga muslim bukan hanya celaka di khirat namun juga mengalami kegagalan berkeluarga di dunia. Diperlukan usaha bersama untuk menguatkan ketangguhan keluarga muslim. Bukan hanya anggota keluarga dan masyarakat . tapi juga Negara yang mampu memberikan lingkungan peraturan dan program yang kondusif bagi terwujudnya sakinah , mawaddah wa rohmah di tengah keluarga. Tentu dengan landasan, peraturan dan program yang merujuk kepada Al-qur;an dan as sunnah bagi kehidupan sesuai contoh rasulullah, khulafaur rasyidin dan generasi pemimpin terbaik setelahnya di masa kecemerlangan islam.

penulis: Ekha Subara